Senin, 11 Mei 2015

Keheningan Senja

Malam ini aku disini, tempat dimana kita pernah berdua. Berbagi cinta, bertukar rahasia. Bersama aroma tumbuh-tumbuhan yang memandang iri.
Hangat, seperti irama jazz yang mengalun lembut. Tatapanmu yang selalu membuatku meleleh seperti es krim cokelat yang pernah ku beri saat itu.
Desahan suaramu yang selalu menenangkan terdengar di telingaku, “Ray…..,” bisikmu. Dan kita pun duduk berhadapan. Kau menatapku lekat. Mencoba bertukan pikiran kembali. Tapi aku sangat tak mampu.
Disini, saat ini aku membisu. Di taman yang mempertemukan kau dan aku.
Senja dan Ray.
* * * *
“Maaf lama menunggu,” suara yang sangat aku rindukan itu memecah keheningan.
“Tidak, tidak apa-apa.”
“Ada apa? Bosan menunggu?”
“Aku tak pernah bosan untuk menunggumu.”
Kami terdiam sejenak. Tatapan mata itu seolah memberi isyarat.
“Sampai kapan kita akan seperti ini, Senja? Maksudku, kau.”
“Aku tak tahu. Kau bosan? Atau keberatan?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa bertanya?”
Aku tak bisa menjawabnya. Hening. Tangannya menggenggam telapak tanganku dengan lembut dan terasa erat.
I love you, Ray.”
“Aku tahu.”
“Lalu?”
“Ya, aku tahu itu.”
Kami kembali terdiam. Kali ini benar-benar diam. Hening. Hanya suara desahan angin yang seakan mengerti perasaanku saat ini. Mencoba menghiburku dengan senyum indahnya.
Air mata jatuh dari salah satu pelupuk matanya. Senja, andai kau tahu, aku sangat ingin menghapus air mata itu. Tangan ini tak mampu ku gerakkan ke pipi meronamu itu. Aku hanya menunduk. Tertunduk menahan bendungan air mata ini. Aku tak ingin kau melihatnya, Senja.
* * * *
Sore ini aku kembali berada di taman ini. Duduk di salah satu kursi taman tepat di depan air mancur. Segelas kopi panas yang ku beli di café seberang taman, kembali menemani. Aku mengeluarkan buku catatan dan pena dari saku. Entah apa yang akan ku tulis kali ini. Tak ku pedulikan orang yang berlalu lalang di depanku. Karena aku tahu, tak akan ada yang datang untukku. Setidaknya untuk saat ini.
Halaman buku catatan yang saat ini di tangan masih kosong. Aku masih tak tahu harus menulis apa. Sebenarnya ingin sekali aku mengeluarkan apa yang ku rasakan saat ini, tapi sangat sulit untuk merangkai kata-kata itu.
Aku lemah. Ku letakkan buku catatan dan penaku di atas kursi di sebelah kopi. Aku membungkuk, menutup wajah, mencoba menenangkan diri. Aku sudah tak bisa membendung air mata ini lagi. Ku seka air mata dengan telapak tangan. Aku berbisik pada diriku sendiri, “Senja…..”
Tak lama, Senja duduk di sebelahku. Dia menggenggam tanganku dengan penuh perasaan.
“Senja…..”
Dia tak bersuara. Hanya menyunggingkan senyum indah yang membuatku lebih tenang.
“Kenapa ada disini, Ray? Bukankah kau sudah tak mau lagi bertemu denganku?”
“Aku tak pernah berkata seperti itu.”
“Bukan mulutmu yang berkata.”
“Lalu?”
“Matamu yang mengisyaratkan seperti itu. Kau sudah tak banyak bicara saat bertemu denganku, jadi ku simpulkan seperti itu.”
“Bukan begitu.”
“Lalu apa?”
Aku benar-benar diam. Tak bisa menjawab. Ingin rasanya aku teriak dan mengeluarkan seluruh air mata ini.
“Jangan terus-terusan membendung air mata, Ray.”
“Aku sedang berusaha.”
“Lebih baik kita bicara daripada berbagi air mata seperti ini.”
“Ya, aku tahu.”
Sunyi sejenak. Aku menundukkan kepala. Terlihat tanganku masih digenggam Senja. Tak lama, Senja menyandarkan kepalanya di atas bahuku. Aku hanya diam. Tak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini.
“Jadi, bagaimana hidupmu sekarang, Ray?”
“Sangat tidak menyenangkan.”
“Jangan begitu……”
“Kenyataannya seperti itu, Senja. Andai kau dapat bersamaku lagi.”
“Kau tahu, itu tidak mungkin, Ray.”
“Aku hanya berharap.”
Hening sejenak. Seperti sedang berpikir topik pembicaraan selanjutnya.
“Bagaimana kabarnya?”
“Siapa?”
“Kelly.”
“Baik. Sepertinya dia merindukanmu.”
“Dan kau?”
“Tentu. Sangat. Kalau tidak untuk apa aku kesini setiap hari?”
“Untuk mengenang pertama kali kita bertemu, mungkin.”
“Dan juga terakhir kali kita bertemu.”
“Jangan begitu…..”
“Kenyataannya seperti itu. Di tempat ini pertama kali kita bertemu, dan disini pula tempat terakhir kali kita berjumpa.”
“Jangan teruskan. Tolong.”
Aku menatap wajahnya. Dia tertunduk menahan air mata. Tak ku pedulikan orang-orang sekeliling menatapku dangan tatapan heran dan merendahkan.
Hari sudah gelap. Bulan menyunggingkan senyuman indah mengingatkanku pada seseorang yang sudah menungguku di rumah.
“Aku harus pergi, Senja.”
Buku catatan dan pena ku rapikan di saku. Aku meneguk habis kopi yang memang sudah tersisa sedikit dan membuang gelasnya ke tempat sampah.
“Selamat tinggal, Ray. Hati-hati. Aku sangat mencintaimu, Ray.”
* * * *
Rumah tampak sepi. Sepertinya Kelly sudah tidur, pikirku. Tapi saat aku membuka pintu, Kelly langsung menyambutku dengan memeluk tubuh ini erat.
“Dari mana?”
“Mau tahu saja.”
“Aku kangen.”
“Sama, dong!”
“Kenapa perginya terlalu lama?”
Aku hanya tersenyum dan mencium kening Kelly dengan lembut.
“Kenapa belum tidur?”
“Tidak bisa.”
“Menunggu, ya?”
Kelly mengangguk. Lalu kami masuk kamar dan naik ke tempat tidur. Mencoba memejamkan mata beristirahat. Tak lama kemudian, suara Kelly membuatku membuka mata lagi.
“Ada apa?” Tanyaku.
“Ayo cerita….”
“Cerita apa, Kelly?”
“Kemana dan ngapain saja hari ini?”
Ngapain, ya? Sepertinya selalu berada di tempat yang sama dan melakukan aktifitas yang sama setiap hari. Terlalu bosan untuk diceritakan.”
“Aku juga, tapi aku tak pernah bosan. Mau dengar ceritaku saja?”
“Sudah malam, lebih baik kita tidur sekarang. Ceritanya lanjutkan besok saja, bagaimana?”
“Besok kapan? Kita tidak pernah ada waktu untuk bersama. Hanya sarapan pagi saja, setelah itu sibuk dengan urusan masing-masing.”
“Ya sudah, ceritakan sekarang.”
“Sudah malam, lebih baik kita tidur sekarang. Ceritanya lanjutkan besok saja,” Kelly menirukan kata-kataku
Lalu aku tertawa. Dunia seperti kembali bersemi saat bersama Kelly.
“Sudahlah lebih baik kita tidur, sudah larut. Selamat malam, Kelly.”
Aku mencium keningnya dengan lembut ketika matanya sudah terpejam. Aku menyayangimu, Kelly. Begitu juga kau, Senja, desahku perlahan
* * * *
Pagi hari, Kelly sudah berada di ruang makan. Sarapan sudah ia siapkan di atas meja makan.
“Nanti malam langsung tidur saja, tidak usah menunggu,” kataku membuka percakapan.
“Memang kenapa?”
“Nanti kecapaian kalau menunggu sampai malam.”
“Mau kemana hari ini? Aku boleh ikut? Aku kan libur hari ini.”
“Mau ikut? Hmm….,” aku ragu.
“Kalau boleh. Kalau di rumah saja bosan sendirian. Aku hanya ingin menemani.”
Aku berpikir, lalu menjawab,
“Tidak usah, sendiri juga tidak apa-apa.”
“Ya sudah kalau begitu,” raut mukanya terlihat kecewa. “Tapi jangan pulang malam-malam, ya?”
“Kenapa?”
“Nanti aku kangen.”
* * * *
Taman ini adalah taman kita. Kau dan aku. Senja dan Ray.
Tapi mengapa taman ini seperti berbeda dari biasanya?
Kau duduk di sebelahku. Hening. Tanpa suara.
Aku bergeser dan menghadapmu agar dapat melihat wajahmu yang muram lebih jelas. Wajah yang begitu dingin, sedih, dan pilu.
“Ada apa?” Tanyaku memecah keheningan.
“Tidak.”
“Wajahmu tak bisa bohong, Senja. Aku tahu betul dirimu. Ceritakan saja.”
“Karena kau tak mengajak Kelly kesini.”
“Aku hanya ingin berduaan saja denganmu saat ini.”
Senja memalingkan wajahnya dari hadapanku. Menunduk menatapi tanah. Menunda laju gelombang percakapan. Aku menatap wajahnya, berusaha menyampaikan harap lewat binar mataku.
“Aku ingin kita kembali, Senja.”
“Tidak mungkin, Ray. Kita sudah pernah bicarakan ini.”
“Tapi aku tak bisa jauh darimu. Sungguh….”
“Kau masih punya Kelly.”
“Iya, tapi semua tidak sama, Senja. Aku butuh kamu.”
“Kelly juga membutuhkanmu, Ray.”
Aku menahan napas sejenak. Menghentikan percakapan. Aku tutup mataku dengan sapu tangan yang baru saja ku keluarkan dari saku untuk menyeka air mata yang tak bisa lagi ku bendung.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Seorang tukang sapu yang tampak bingung melihatku terisak sendirian.
“Tidak, tidak apa-apa. Terima kasih,” aku menjawab dan memastikan air mataku sudah tak terlihat. Tukang sapu itu pun segera pergi.
Aku dan Senja terdiam beberapa saat. Aku melihat Senja terus-menerus mengeluarkan air mata. Dan aku beberapa kali menyeka air mata yang membendung di pelupuk mata ini.
  Senja masih menangis. Air matanya mengalir ke arahku, seolah ingin menyampaikan pesan tersirat. Aku menggenggam erat tangannya agar ia dapat merasa lebih tenang untuk menyampaikan pesan itu. Senja menatapku dengan tatapan mata yang berlinang air mata.
“Kita takkan bertemu lagi, Ray…”
“Kenapa, Senja? Jangan tinggalkan aku…”
“Terima kenyataan, Ray. Mulailah hidup barumu bersama Kelly.”
“Tanpamu? Itu takkan mungkin!”
Please, Ray, lupakan aku.”
“Aku…. Aku tidak bisa, Senja.”
“Harus! Kamu harus bisa melupakan aku!”
Pelupuk mata ini sudah tak kuat lagi menampung air mata. Senja beranjak dari tempat duduknya. Perlahan menghilang bersamaan dengan hembusan angin malam yang mungkin akan mengantar Senja berlalu. Aku pun beranjak dari tempat dudukku. Ku genggam tangannya, mencoba menahan kepergiannya yang diiringi keheningan angin malam.
“Senja…. Senja, jangan pergi!”
“Maafkan aku, Ray. Tolong jaga Kelly, our lovely daughter. Untukku. Bye, Ray...”
“Aku akan menjaganya, tapi tolong jangan pergi, Senja!”
“Maaf, Ray. Aku akan selalu mencintai kalian, Ray, Kelly.
“Kami juga akan selalu mencintaimu, Senja. Kami butuh kamu…”
Senja menghilang dari hadapanku. Aku kembali terduduk lemah. Tak berdaya.
Aku menatap tempat Senja biasa bersandar padaku. Kosong. Senja benar-benar hilang. Yang tersisa hanyalah malam pilu, di tengah lampu-lampu taman yang sekarang menjadi kenangan.
“Selamat tinggal, Senja….,” bisikku perlahan.
* * * *
Aku sampai di rumah sekitar pukul 10 malam. Terlihat lampu ruang tengah masih menyala. Saat aku masuk, Kelly langsung memelukku erat.
“Habis menangis? Ada apa?” Tanya Kelly saat melihat wajahku.
“Tidak apa-apa.”
“Aku mau cerita. Kali ini tolong dengarkan, ya?”
Kelly menarikku ke kursi. Ia menyuruhku duduk kemudian mendengarkan ceritanya. Aku hanya tersenyum melihat tingkah manjanya itu.
“Baik, sekarang coba ceritakan.”
“Tadi ada yang menelepon, suaranya seperti ibu-ibu. Dia bilang mau cari ayah, tapi aku bilang ayah belum pulang. Terus, kami mengobrol. Dia menanyakan bagaimana keadaanku, sekolahku, dan yang lainnya. Lalu dia bertanya apa aku kesepian. Aku bilang, aku sempat merasa sedih waktu ibuku meninggal. Tapi aku tidak kesepian karena aku masih punya ayah yang sangat sayang padaku.”
Aku memeluk Kelly. Erat. Mencium keningnya. Aku merasakan air mata di pelupuk ini.
“Kenapa? Ceritaku bikin sedih, ya?”
“Tidak, Kelly…. Teruskan.”
“Lalu dia bertanya tentang ayah. Aku bilang ayahku selalu pulang malam, tapi aku selalu menunggunya karena aku tidak mau tidur sendirian. Aku juga ingin ketika ayah baru sampai rumah dan wajahnya terlihat lelah, saat dia melihatku jadi semangat lagi. Terus aku bilang setiap ayah sampai di rumah, pasti ia selalu memelukku erat dan mencium keningku dengan penuh rasa sayang. Seperti sekarang ini, ya kan?”
“Kelly, apa kamu bertanya siapa namanya?”
“Tunggu, aku belum selesai cerita. Dia bertanya apa aku sayang pada ayahku. Tentu saja aku menjawab aku sangat sayang pada ayah. Ayah segalanya untukku. Lalu ibu-ibu itu menyuruhku untuk selalu menyayangi dan menjaga ayah baik-baik. Aku penasaran dia siapa. Saat aku bertanya nama ibu siapa, dia bilang namanya Senjani Putri. Wah, kataku, namamu seperti ibuku, Senja, tapi aku tidak tahu siapa nama lengkap ibuku. Lalu dia bilang dia harus pergi, setelah itu dia pamit dan menutup teleponnya.”
Jantungku berdegup kencang. Aku menatap wajah Kelly lekat-lekat.
“Kamu tidak berbohong, kan, Kelly?”
“Tidak, untuk apa aku bohong? Aku kan tidak pernah berbohong.”
Aku tersenyum padanya. Kemudian aku membawanya ke tempat tidur. Saat kami sudah berbaring untuk tidur, Kelly mendekatkan kepalanya ke telingaku. Kemudian ia berbisik,
“Oh iya, aku lupa. Tadi ibu-ibu itu menitipkan pesan. Katanya Senja sayang Ray dan Kelly. Eh, itu kan tulisan yang ada di foto itu, ya?”
Aku melihat ke arah foto yang diletakkan di atas meja samping tempat tidur. Di foto itu terlihat Senja sedang menggendong Kelly yang masih bayi, dan aku disampingnya. Senja yang membingkai foto itu dan menuliskan tulisan “Senja sayang Ray dan Kelly” di atas fotonya.
Baru saja aku akan menyampaikan sesuatu pada Kelly tapi ternyata dia sudah tertidur. Samar-samar aku melihat bayangan Senja  di sudut kamar. Dia tersenyum dan berbisik,
“Aku menyayangimu, Ray. Jaga Kelly untukku, ya?
“Aku juga menyayangimu, Senja…,” sahutku perlahan sambil mengusap kepala Kelly.

16 Desember 2014

9 komentar:

  1. wowwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww

    BalasHapus
  2. Dramatis
    ini kisah nyata
    atau hanya skdar cerita?

    BalasHapus
  3. Kayanya dari pengalaman sendiri??

    BalasHapus
  4. lebih suka liat postingan yg dulu2 lebih natural kata2 nya

    BalasHapus
  5. kenapa ada postingan yg di apus ya?
    saya mengikuti postingan dan curhatan anda.. apa boleh tau alasannya apa?

    BalasHapus