Jika
kamu bukan seseorang itu, lalu mengapa jiwaku merasa senang hari ini?
Jika
kamu bukan seseorang itu, lalu mengapa tanganku begitu pas dengan tanganmu?
Jika
kamu bukan milikku, lalu mengapa hatimu menjawab panggilanku?
Jika kamu bukan
milikku, apakah aku memiliki kekuatan untuk berdiri?
****
Hai,
akhirnya kita bertemu lagi setelah dijauhkan oleh waktu yang cukup lama. Aku mengajakmu
ke tempat ini hanya untuk melepaskan rasa rindu yang telah lama aku pendam. Tanpa
kabar dan gurauan. Aku tahu ini salahku yang telah memilih untuk merantau demi
pendidikan yang aku ingin. Ya, ini salahku.
“Randi,”
suara itu kembali menggema di telingaku setelah enam bulan aku tak mendengarnya
lagi. Aku masih tak menyangka kamu masih mau untuk menyebut namaku, bahkan
bertemu denganku. Tak pernah sekali pun aku mendengar kamu rindu padaku, jadi
dapat kusimpulkan kalau kamu sudah membenciku saat itu. Ya, saat itu yang
berbeda dengan sekarang. Sekarang aku sudah kembali, dan aku sangat rindu
padamu, Bia.
Hari
ini aku ingin menghabiskan waktuku hanya berdua denganmu, tak ada yang lain. Aku
memang tak melihat rona bahagia atau pun kecewa di wajahmu, tapi aku senang
karena kamu mengiyakan ajakanku. Aku ingin menebus semua rasa bersalahku karena
telah meninggalkanmu tanpa kabar.
Di
taman ini, aku ingin melihat senyummu. Senyum yang tak dapat ku lihat selama
enam bulan lalu. Dan aku ingin senyuman itu karena aku. Ya, hanya untukku. Aku tahu,
aku bukan siapa-siapa untukmu. Mungkin kamu hanya menganggapku teman biasa,
tapi tak apa. Sudah sejak duduk di bangku SMP kita kenal dan memang dekat sudah
cukup lama, tapi aku takut untuk mengungkapkan semua ini. Aku tahu ada
seseorang dari masa lalumu yang masih dekat denganmu. Mungkin kamu masih punya
perasaan yang sama. Sama seperti dulu sebelum kalian memutuskan untuk berpisah.
Bangku
taman berwarna cokelat ini menjadi saksi. Kamu mengajakku duduk untuk melihat
tanaman di sekitar taman. Aku tahu kamu sangat menyukai tanaman, bunga, dan
kupu-kupu. Senyuman itu kini kembali hadir di depan mataku. Terima kasih,
Tuhan, senyuman itu datang kembali karenaku. Cuaca hari ini yang sangat cerah,
membuatku ingin lebih lama disini tanpa harus melihat gelapnya malam. Aku benar-benar
tak ingin berpisah darimu, Bia.
Kamu
sangat suka dengan anak kecil, aku tahu itu. Jadi saat kamu meminta izin untuk
menghampiri anak perempuan yang mungkin baru bisa berjalan itu, aku tentu
mengizinkannya.
“Lihat
deh, Ran, lucu banget itu anaknya. Aku
kesana, ya? Aku mau ajak main, boleh ya?”
“Iya,
Bi, kesana aja.”
Sementara
kamu bermain dengan anak itu, aku membeli minuman yang tentu saja kesukaanmu. Aku
juga membelikan permen lollipop kesukaanmu.
Tak perlu heran, aku memang tahu semua kesukaanmu tanpa harus bertanya apakah
kamu tahu kesukaanku. Mungkin tahu, walau pun tak banyak. Kamu pernah
membuatkan makanan dan minuman kesukaanku. Menurutku itu sudah
sangat cukup. Jiwa ini telah merasakan kebahagiaan.
****
Aku
tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan
Namun
ku tahu kamu ada disini bersamaku
Kita
akan melewati ini
Dan aku berharap
kamulah seseorang yang akan berbagi hidup dengaku
****
Rasanya
ingin sekali aku meminta maaf dan mengungkapkan semuanya padamu saat ini juga,
tapi aku harus sadar, aku bukan siapa-siapa di matamu. Tapi jika bukan, mengapa
seakan-akan kamu menjawab panggilan hatiku ini? Aku ingin meminta maaf karena
telah hilang kabar selama enam bulan. Sebenarnya saat itu aku sangat berharap
jika kamu yang menanyakan kabarku terlebih dahulu. Tapi sekarang aku sadar,
kamu adalah seorang wanita. Seorang wanita baik yang tak mungkin untuk memulai.
Aku sangat mengerti sekarang, karena jika kamu memulai, kamu takut jika tak
ditanggapi. Mungkin itu alasannya.
Sekarang
aku baru mengerti semua setelah aku menceritakan ini pada teman wanitaku
disana, Zena. Dialah orang yang membuatku sadar bahwa ada perbedaan antara
wanita dan pria dalam hal percintaan. Tapi aku ragu, apakah kamu benar-benar
tidak marah padaku? Kamu tidak bertanya kemana saja aku selama ini sehingga tak
ada kabar. Kamu hanya menanyakan bagaimana pendidikanku disana. Tapi aku
senang, karena artinya kamu masih peduli dengan pendidikanku.
Kamu
seorang wanita yang cerdas, sementara aku hanya pria pemalas. Terkadang aku
suka berpikir apakah aku pantas menjadi pendampingmu? Aku selalu ingat ceritamu
tentang mantan kekasihmu yang dapat diumpamakan hampir sempurna. Sedangkan aku?
Ah, tapi aku selalu senang dapat membuatmu tersenyum dan tertawa setiap hari,
tidak seperti dia yang hanya bisa membuatmu menangis. Namun, kita takkan pernah
tahu apa yang terjadi di masa depan nanti.
****
Aku
tak ingin berlari tapi aku tak kuat menahannya, aku tak mengerti
Jika
aku tidak ditakdirkan untukmu,
lalu
mengapa hatiku mengatakan bahwa akulah takdirmu?
Adakah cara lain
agar aku tetap ada dalam dekapanmu?
****
Aku
benar-benar tak mengerti dengan apa yang ku rasa saat ini. Seperti ada yang
ingin berontak dalam hati. Jantungku berdegup sangat cepat saat aku menatap
matamu. Jika aku mengatakan semuanya, apakah kamu dapat menerimaku? Menerimaku apa
adanya. Menerimaku dengan begitu banyak kekurangan yang ada padaku. Sesungguhnya
aku tak yakin dengan semua ini.
Bertahan.
Aku tak dapat melakukan apa pun selain menahan perasaan ini. Ingin sekali
rasanya aku menyampaikan semua mimpi-mimpiku selama ini. Kamu, Bia. Selalu kamu
yang ada di mimpiku. Semua mimpi indah itu adalah kamu.
Setiap
kali aku melihat wajahmu, aku tak pernah berhenti pula membayangkan betapa
indahnya saat aku hidup denganmu nanti. Setiap kita tertawa bersama, selalu
terbayang masa tua kita yang akan dipenuhi dengan canda dan tawa kita berdua. Aku
memang tidak pandai, tidak rajin, dan banyak tidaknya, tetapi aku selalu
mempunyai berbagai cara untuk membuatmu tertawa bersamaku, begitu pula kamu. Aku
selalu merasa nyaman saat ada di dekatmu. Kamu berbeda. Kamu selalu bisa
mengembalikan tawaku saat aku sedang marah. Dan itu yang selalu terbayang dalam
pikiranku saat kita hidup bersama nanti. Jika takdir menemukan kita.
****
Jika
aku tak membutuhkanmu, mengapa aku menangis di tempat tidurku?
Jika
aku tak membutuhkanmu, mengapa namamu menggema di kepalaku?
Jika
kamu bukan untukku, mengapa jarak ini meruntuhkan hidupku?
Jika kamu bukan
untukku, mengapa aku memimpikanmu menjadi istriku?
****
Aku
benci pada diriku sendiri. Betapa tidak? Selama enam bulan lalu, aku
benar-benar membutuhkanmu. Tapi aku terlalu egois. Aku hanya dapat melihat
beberapa foto dan video saat kita bersama yang tersimpan di ponselku. Aku sadar
waktu itu aku bukan lelaki yang baik. Aku tak pernah mengerti apa dan bagaimana
wanita. Saat aku melihat semua foto dan video dari ponselku, aku hanya dapat
menitikkan air mata dan membasahi sarung bantalku. Aku sadar, aku terlalu
bodoh.
Aku
hanya berkata dalam hati bahwa aku merindukanmu. Hanya dapat menuliskan
kata-kata rindu itu di buku catatanku. Aku terlalu bodoh. Aku yang
membutuhkanmu, tapi aku pula yang menunggumu. Itu hal terbodoh yang pernah ku
lakukan. Sekarang aku menyesal. Sangat-sangat menyesal.
Tak
rumit, aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu padaku selama ini. Aku ingin membuktikan
bahwa mimpi-mimpiku selama ini adalah sebuah pertanda. Sebuah pertanda yang
akan membawa kita ke masa depan. Dimana hanya ada kita. Kau dan aku. Bia dan
Randi.
****
Aku
tak tahu mengapa kamu terlalu jauh
Tapi
aku tahu semua ini adalah benar
Kita
akan melewati ini
Dan
ku harap kamulah seseorang yang akan berbagi hidup denganku
Dan
ku harap kamulah seseorang yang menemaniku hingga aku mati
Dan
ku berdoa kamulah seseorang yang akan membangun rumah denganku
Aku harap aku
mencintaimu selama hidupku
****
Kini
aku hanya dapat berdoa semoga Tuhan memberikan yang terbaik untukku, juga
untukmu. Aku memang selalu berharap kamu bisa jadi milikku, Bia, tapi aku sadar
akan diriku yang seperti ini. Tapi aku ingin kamu yang menjadi takdirku. Takdir
terindah untukku. Aku sadar aku sangat membutuhkanmu walau pun aku tak bisa
mengungkapkan ini semua.
Aku
tahu, semua orang memiliki kekurangan, begitu juga dengan kita, Bia. Aku janji,
aku bisa menerima semua kekuranganmu. Aku akan tutup semua itu dengan kelebihan
yang ku punya. Begitu juga denganmu. Kamu harus menutup kekuranganku dengan
kelebihan yang kamu punya. Aku yakin sebenarnya kamu juga memiliki rasa yang
sama denganku, Bia. Aku memang lelaki yang tak pernah mengerti wanita. Sangat sulit
untukku menebak teka-teki darimu. Mungkin aku yang terlalu bodoh.
Senyummu
membuat semua bunga di taman ini merasa malu karena telah tersaingi. Tawamu mengalahkan
indahnya kicauan burung di langit yang indah hari ini. Matamu bersinar seperti
air mancur yang berada di tengah taman ini. Entah sampai kapan aku hanya
mengagumimu dalam diam. Haruskah aku bersikap dingin padamu agar aku tahu isi
hatimu yang sebenarnya? Atau mungkin aku harus menjauh? Ah, sangat sulit.
****
Karena
aku sangat merindukanmu, jiwa dan raga
Hingga
aku hampir mati
Dan
ku hirup dirimu ke dalam hatiku
Dan
aku memohon kekuatan untuk bertahan hari ini
Karena
aku mencintaimu entah ini salah atau benar
Dan
meski aku tak bisa bersamamu malam ini
Dan meski hatiku
di sisimu
****
“Ran?
Randi? Kamu sehat, kan?” Panggil Bia membuyarkan lamunanku.
“Eh,
iya, ada apa, Bi?”
“Kamu
kenapa? Sakit? Tiba-tiba ngelamun
gitu?”
“Engga,
cuma lagi mikirin kamu hehehe…”
“Halah!
Pulang, yuk! Sudah sore, nih.”
“Tapi
makan dulu, ya? Laper.”
“Dimana?”
“Nggak usah banyak tanya, ya, Bi. Kamu duduk
manis aja di mobil, nanti juga
sampai.”
“Iya,
terserah kamu, Ran.”
Maaf,
Bia, aku masih belum bisa jujur sama kamu tentang semua ini. Tentang semua yang
aku rasa ke kamu. Aku belum siap. Aku yakin nanti akan ada waktunya untuk aku
siap mengatakan semua ini ke kamu. Akan ada saatnya, Bia.
****
Aku
tak ingin berlari tapi aku tak kuat menahannya, aku tak mengerti
Jika
aku tidak ditakdirkan untukmu,
lalu
mengapa hatiku mengatakan bahwa akulah takdirmu?
Adakah cara lain
agar aku tetap ada dalam dekapanmu?
****
Song: If You're Not The One by Daniel Beddingfield
Tidak ada komentar:
Posting Komentar