Minggu, 30 Agustus 2015

KENYAMANAN

Dalam kehidupan, terlalu banyak sifat orang-orang yang (mungkin) berbeda. Dari perbedaan itulah kita harus lebih bisa menyesuaikannya satu sama lain. Tidak hanya sifat, perbedaan seseorang dengan orang lainnya juga dapat terlihat dari banyak hal, misalnya umur, agama, suku, warna kulit, warna rambut, dan masih banyak lagi. Harusnya kita bersyukur dengan perbedaan yang ada. Bayangkan jika kita hanya berhadapan dengan orang-orang yang mempunya sifat yang sama dengan kita, akan berantakan bukan? Tak ada yang dapat meredam amarah karena semua pemarah, tak ada yang mau mengalah karena semua egois. Ya, itulah kehidupan. Semua butuh perbedaan.
Kenyamanan. Kita semua butuh rasa nyaman. Tidak hanya terhadap lingkungan, kita harus mendapatkan kenyamanan yang kita inginkan juga dari orang-orang terdekat. Jika teman sekelas kita ada yang mempunyai kebiasaan aneh, apa dia akan dijadikan sebagai teman dekat? Tentu tidak, karena dia tidak membuat kita nyaman, meski pun kita dari suku yang sama, agama, umur, bahkan warna kulit pun sama. Kenyamanan seseorang tidak dapat terukur dari berbagai hal yang sama, begitu juga dengan pasangan hidup.
Mendapatkan pasangan yang membuat kita nyaman itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Selama hidup, kita tentu sudah bertemu dengan ratusan, bahkan ribuan orang, tapi hanya beberapa di antara mereka yang membuat kita nyaman. Kata ‘nyaman’ pun tak selalu diartikan untuk pasangan. Itu juga dapat diartikan untuk teman dan sahabat. Ada kalanya kita merasa beberapa orang lebih nyaman dijadikan teman biasa, beberapa sebagai sahabat, tetapi hanya satu yang membuat kita lebih nyaman untuk dijadikan pasangan.
Indonesia, negeri yang memiliki ratusan suku dan mengikat banyak aturan. Aturan-aturan itulah yang sering memecahkan kenyamanan seseorang pada orang lainnya. Perbedaan itu memang indah, tapi tak selamanya yang indah itu disetujui. Ya, katakanlah perbedaan agama. Sepasang kekasih yang sudah saling nyaman satu sama lain harus terpisah karena perbedaan agama. Tapi tidak sedikit juga dari mereka yang merasakan perbedaan itu harus bertahan memperjuangkan apa yang mereka inginkan. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya hidup bersama dalam sebuah perbedaan. Perbedaan yang mungkin dapat dikatakan sebagai masalah terbesar, tapi sekali lagi, itulah kenyamanan. Rasa nyaman yang mengubah segalanya. Rasa nyaman yang membutakan diri seseorang, sehingga tak lagi dilihatnya sebuah perbedaan.
Tidak hanya agama, perbedaan pada sepasang kekasih masih sangat banyak, misalnya perbedaan suku. Tak jarang ada orang tua yang melarang anaknya berhubungan dengan orang lain karena sukunya berbeda. Orang tua terkadang masih percaya dengan apa yang dikatakan orang-orang zaman dahulu. “Si A tidak boleh berhubungan dengan si B karena suku B memiliki sikap keras kepala” atau “si A tidak akan pernah menjalin dengan hubungan dengan si B karena suku B termasuk orang-orang pelit”. Masih banyak lagi. Banyak. Kita memang paling tidak suka apabila orang tua ikut campur dalam hubungan yang kita jalani terutama menyangkut suku. Tapi tidak sedikit pula yang berhasil meluluhkan hati orang tua sehingga perbedaan suku ini berada dalam satu atap hingga maut memisahkan. Itulah kekuatan dari kenyamanan. Kenyamanan dapat meruntuhkan segala dinding tebal yang menghalangi.
Perbedaan umur dan latar belakang keluarga masih sama halnya dengan di atas tadi. Jika bersungguh-sungguh, semua akan terkalahkan oleh rasa nyaman. Rasa nyaman akan memudarkan semua perbedaan itu. Lalu bagaimana dengan perbedaan kebiasaan tapi merasakan kenyamanan satu sama lain?
Perbedaan kebiasaan tapi merasakan kenyamanan. Itu memang banyak terjadi atau jarang terdengar jadi terlihat jarang terjadi. Perbedaan kebiasaan yang dimaksud disini misalnya seseorang yang dapat dikatakan pintar, rajin belajar, rajin beribadah, dan rajin segalanya bertemu dengan seseorang yang pemalas, jarang beribadah, jarang belajar, kebiasaan yang dilakukan hanya berman dan juga berbelanja. Di balik perbedaan itu, mereka menemukan rasa nyaman kepada satu sama lain, walau pun rasa nyaman itu tidak pernah mengubah kebiasaan buruk menjadi baik dan kebiasaan yang kaku menjadi seperti biasa. Karena tak ada kebiasaan yang dapat diubah, terkadang terlintas dalam pikiran, “haruskah saya pergi karena dia tak baik untuk saya?” atau, “haruskah saya pergi karena dia terlalu baik untuk saya?”
Tentu tak jarang bukan perbedaan seperti itu? Tapi itulah kekuatan dari rasa nyaman. Walau pun tak dapat mengubah apa pun, karena sudah saling nyaman, sangat sulit untuk melepaskan. Sekali pun berpisah, pasti merasa ada yang kurang dari apa yang sedang dijalaninya itu. Bukan kehilangan pasangan, itu adalah perasaan kehilangan rasa nyaman yang sudah didapatkan sejak lama. Memang tak mudah jika harus kehilangan yang telah didapat, karena harus mulai dari nol. Kosong tanpa isi, mencari dan menunggu, dan sekali lagi, rasa nyaman itu tak mungkin didapatkan dengan mudah, seperti membalikkan telapak tangan.

Selasa, 11 Agustus 2015

JIKA....




Jika kamu bukan seseorang itu, lalu mengapa jiwaku merasa senang hari ini?
Jika kamu bukan seseorang itu, lalu mengapa tanganku begitu pas dengan tanganmu?
Jika kamu bukan milikku, lalu mengapa hatimu menjawab panggilanku?
Jika kamu bukan milikku, apakah aku memiliki kekuatan untuk berdiri?
****
Hai, akhirnya kita bertemu lagi setelah dijauhkan oleh waktu yang cukup lama. Aku mengajakmu ke tempat ini hanya untuk melepaskan rasa rindu yang telah lama aku pendam. Tanpa kabar dan gurauan. Aku tahu ini salahku yang telah memilih untuk merantau demi pendidikan yang aku ingin. Ya, ini salahku.
“Randi,” suara itu kembali menggema di telingaku setelah enam bulan aku tak mendengarnya lagi. Aku masih tak menyangka kamu masih mau untuk menyebut namaku, bahkan bertemu denganku. Tak pernah sekali pun aku mendengar kamu rindu padaku, jadi dapat kusimpulkan kalau kamu sudah membenciku saat itu. Ya, saat itu yang berbeda dengan sekarang. Sekarang aku sudah kembali, dan aku sangat rindu padamu, Bia.
Hari ini aku ingin menghabiskan waktuku hanya berdua denganmu, tak ada yang lain. Aku memang tak melihat rona bahagia atau pun kecewa di wajahmu, tapi aku senang karena kamu mengiyakan ajakanku. Aku ingin menebus semua rasa bersalahku karena telah meninggalkanmu tanpa kabar.
Di taman ini, aku ingin melihat senyummu. Senyum yang tak dapat ku lihat selama enam bulan lalu. Dan aku ingin senyuman itu karena aku. Ya, hanya untukku. Aku tahu, aku bukan siapa-siapa untukmu. Mungkin kamu hanya menganggapku teman biasa, tapi tak apa. Sudah sejak duduk di bangku SMP kita kenal dan memang dekat sudah cukup lama, tapi aku takut untuk mengungkapkan semua ini. Aku tahu ada seseorang dari masa lalumu yang masih dekat denganmu. Mungkin kamu masih punya perasaan yang sama. Sama seperti dulu sebelum kalian memutuskan untuk berpisah.
Bangku taman berwarna cokelat ini menjadi saksi. Kamu mengajakku duduk untuk melihat tanaman di sekitar taman. Aku tahu kamu sangat menyukai tanaman, bunga, dan kupu-kupu. Senyuman itu kini kembali hadir di depan mataku. Terima kasih, Tuhan, senyuman itu datang kembali karenaku. Cuaca hari ini yang sangat cerah, membuatku ingin lebih lama disini tanpa harus melihat gelapnya malam. Aku benar-benar tak ingin berpisah darimu, Bia.
Kamu sangat suka dengan anak kecil, aku tahu itu. Jadi saat kamu meminta izin untuk menghampiri anak perempuan yang mungkin baru bisa berjalan itu, aku tentu mengizinkannya.
“Lihat deh, Ran, lucu banget itu anaknya. Aku kesana, ya? Aku mau ajak main, boleh ya?”
“Iya, Bi, kesana aja.”
Sementara kamu bermain dengan anak itu, aku membeli minuman yang tentu saja kesukaanmu. Aku juga membelikan permen lollipop kesukaanmu. Tak perlu heran, aku memang tahu semua kesukaanmu tanpa harus bertanya apakah kamu tahu kesukaanku. Mungkin tahu, walau pun tak banyak. Kamu pernah membuatkan makanan dan minuman kesukaanku. Menurutku itu sudah sangat cukup. Jiwa ini telah merasakan kebahagiaan.
****
Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan
Namun ku tahu kamu ada disini bersamaku
Kita akan melewati ini
Dan aku berharap kamulah seseorang yang akan berbagi hidup dengaku
****
Rasanya ingin sekali aku meminta maaf dan mengungkapkan semuanya padamu saat ini juga, tapi aku harus sadar, aku bukan siapa-siapa di matamu. Tapi jika bukan, mengapa seakan-akan kamu menjawab panggilan hatiku ini? Aku ingin meminta maaf karena telah hilang kabar selama enam bulan. Sebenarnya saat itu aku sangat berharap jika kamu yang menanyakan kabarku terlebih dahulu. Tapi sekarang aku sadar, kamu adalah seorang wanita. Seorang wanita baik yang tak mungkin untuk memulai. Aku sangat mengerti sekarang, karena jika kamu memulai, kamu takut jika tak ditanggapi. Mungkin itu alasannya.
Sekarang aku baru mengerti semua setelah aku menceritakan ini pada teman wanitaku disana, Zena. Dialah orang yang membuatku sadar bahwa ada perbedaan antara wanita dan pria dalam hal percintaan. Tapi aku ragu, apakah kamu benar-benar tidak marah padaku? Kamu tidak bertanya kemana saja aku selama ini sehingga tak ada kabar. Kamu hanya menanyakan bagaimana pendidikanku disana. Tapi aku senang, karena artinya kamu masih peduli dengan pendidikanku.
Kamu seorang wanita yang cerdas, sementara aku hanya pria pemalas. Terkadang aku suka berpikir apakah aku pantas menjadi pendampingmu? Aku selalu ingat ceritamu tentang mantan kekasihmu yang dapat diumpamakan hampir sempurna. Sedangkan aku? Ah, tapi aku selalu senang dapat membuatmu tersenyum dan tertawa setiap hari, tidak seperti dia yang hanya bisa membuatmu menangis. Namun, kita takkan pernah tahu apa yang terjadi di masa depan nanti.
****
Aku tak ingin berlari tapi aku tak kuat menahannya, aku tak mengerti
Jika aku tidak ditakdirkan untukmu,
lalu mengapa hatiku mengatakan bahwa akulah takdirmu?
Adakah cara lain agar aku tetap ada dalam dekapanmu?
****
Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang ku rasa saat ini. Seperti ada yang ingin berontak dalam hati. Jantungku berdegup sangat cepat saat aku menatap matamu. Jika aku mengatakan semuanya, apakah kamu dapat menerimaku? Menerimaku apa adanya. Menerimaku dengan begitu banyak kekurangan yang ada padaku. Sesungguhnya aku tak yakin dengan semua ini.
Bertahan. Aku tak dapat melakukan apa pun selain menahan perasaan ini. Ingin sekali rasanya aku menyampaikan semua mimpi-mimpiku selama ini. Kamu, Bia. Selalu kamu yang ada di mimpiku. Semua mimpi indah itu adalah kamu.
Setiap kali aku melihat wajahmu, aku tak pernah berhenti pula membayangkan betapa indahnya saat aku hidup denganmu nanti. Setiap kita tertawa bersama, selalu terbayang masa tua kita yang akan dipenuhi dengan canda dan tawa kita berdua. Aku memang tidak pandai, tidak rajin, dan banyak tidaknya, tetapi aku selalu mempunyai berbagai cara untuk membuatmu tertawa bersamaku, begitu pula kamu. Aku selalu merasa nyaman saat ada di dekatmu. Kamu berbeda. Kamu selalu bisa mengembalikan tawaku saat aku sedang marah. Dan itu yang selalu terbayang dalam pikiranku saat kita hidup bersama nanti. Jika takdir menemukan kita.
****
Jika aku tak membutuhkanmu, mengapa aku menangis di tempat tidurku?
Jika aku tak membutuhkanmu, mengapa namamu menggema di kepalaku?
Jika kamu bukan untukku, mengapa jarak ini meruntuhkan hidupku?
Jika kamu bukan untukku, mengapa aku memimpikanmu menjadi istriku?
****
Aku benci pada diriku sendiri. Betapa tidak? Selama enam bulan lalu, aku benar-benar membutuhkanmu. Tapi aku terlalu egois. Aku hanya dapat melihat beberapa foto dan video saat kita bersama yang tersimpan di ponselku. Aku sadar waktu itu aku bukan lelaki yang baik. Aku tak pernah mengerti apa dan bagaimana wanita. Saat aku melihat semua foto dan video dari ponselku, aku hanya dapat menitikkan air mata dan membasahi sarung bantalku. Aku sadar, aku terlalu bodoh.
Aku hanya berkata dalam hati bahwa aku merindukanmu. Hanya dapat menuliskan kata-kata rindu itu di buku catatanku. Aku terlalu bodoh. Aku yang membutuhkanmu, tapi aku pula yang menunggumu. Itu hal terbodoh yang pernah ku lakukan. Sekarang aku menyesal. Sangat-sangat menyesal.
Tak rumit, aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu padaku selama ini. Aku ingin membuktikan bahwa mimpi-mimpiku selama ini adalah sebuah pertanda. Sebuah pertanda yang akan membawa kita ke masa depan. Dimana hanya ada kita. Kau dan aku. Bia dan Randi.
****
Aku tak tahu mengapa kamu terlalu jauh
Tapi aku tahu semua ini adalah benar
Kita akan melewati ini
Dan ku harap kamulah seseorang yang akan berbagi hidup denganku
Dan ku harap kamulah seseorang yang menemaniku hingga aku mati
Dan ku berdoa kamulah seseorang yang akan membangun rumah denganku
Aku harap aku mencintaimu selama hidupku
****
Kini aku hanya dapat berdoa semoga Tuhan memberikan yang terbaik untukku, juga untukmu. Aku memang selalu berharap kamu bisa jadi milikku, Bia, tapi aku sadar akan diriku yang seperti ini. Tapi aku ingin kamu yang menjadi takdirku. Takdir terindah untukku. Aku sadar aku sangat membutuhkanmu walau pun aku tak bisa mengungkapkan ini semua.
Aku tahu, semua orang memiliki kekurangan, begitu juga dengan kita, Bia. Aku janji, aku bisa menerima semua kekuranganmu. Aku akan tutup semua itu dengan kelebihan yang ku punya. Begitu juga denganmu. Kamu harus menutup kekuranganku dengan kelebihan yang kamu punya. Aku yakin sebenarnya kamu juga memiliki rasa yang sama denganku, Bia. Aku memang lelaki yang tak pernah mengerti wanita. Sangat sulit untukku menebak teka-teki darimu. Mungkin aku yang terlalu bodoh.
Senyummu membuat semua bunga di taman ini merasa malu karena telah tersaingi. Tawamu mengalahkan indahnya kicauan burung di langit yang indah hari ini. Matamu bersinar seperti air mancur yang berada di tengah taman ini. Entah sampai kapan aku hanya mengagumimu dalam diam. Haruskah aku bersikap dingin padamu agar aku tahu isi hatimu yang sebenarnya? Atau mungkin aku harus menjauh? Ah, sangat sulit.
****
Karena aku sangat merindukanmu, jiwa dan raga
Hingga aku hampir mati
Dan ku hirup dirimu ke dalam hatiku
Dan aku memohon kekuatan untuk bertahan hari ini
Karena aku mencintaimu entah ini salah atau benar
Dan meski aku tak bisa bersamamu malam ini
Dan meski hatiku di sisimu
****
“Ran? Randi? Kamu sehat, kan?” Panggil Bia membuyarkan lamunanku.
“Eh, iya, ada apa, Bi?”
“Kamu kenapa? Sakit? Tiba-tiba ngelamun gitu?”
“Engga, cuma lagi mikirin kamu hehehe…”
“Halah! Pulang, yuk! Sudah sore, nih.”
“Tapi makan dulu, ya? Laper.”
“Dimana?”
Nggak usah banyak tanya, ya, Bi. Kamu duduk manis aja di mobil, nanti juga sampai.”
“Iya, terserah kamu, Ran.”
Maaf, Bia, aku masih belum bisa jujur sama kamu tentang semua ini. Tentang semua yang aku rasa ke kamu. Aku belum siap. Aku yakin nanti akan ada waktunya untuk aku siap mengatakan semua ini ke kamu. Akan ada saatnya, Bia.
****
Aku tak ingin berlari tapi aku tak kuat menahannya, aku tak mengerti
Jika aku tidak ditakdirkan untukmu,
lalu mengapa hatiku mengatakan bahwa akulah takdirmu?
Adakah cara lain agar aku tetap ada dalam dekapanmu?
****










Song: If You're Not The One by Daniel Beddingfield