Rabu, 25 Februari 2015

SELAMAT DATANG, KENANGAN.

Akhirnya kita bertemu kembali. Di tempat yang sama, suasana yang sama dan…. Ya, aku tahu, keadaan telah berbeda, tak lagi sama. Kau bertanya padaku apakah aku merindukanmu? Tentu saja aku menjawab, ya! Ya, aku merindukanmu. Sangat. Melebihi yang kau tahu. Atau mungkin kau tak pernah tahu akan satu hal itu.

Tak satu kata pun yang dapat aku keluarkan dari bibir kecil ini. Bibir yang dahulu sering menghiburmu ketika kau resah. Bibir yang mungkin sampai saat ini masih menyebut namamu dalam setiap doaku. Sebuah keheningan seakan-akan menampar wajahku dengan keras. Aku seperti mendengar bisikan dari angin-angin yang menggelitik.
“Dira, cepat katakan yang telah kau pendam selama ini! Mana Dira yang kita kenal? Kau bukan Dira!” seakan angin-angin itu berbicara padaku.
“Hei, aku Dira! Akan ku buktikan kalau aku bisa mengatakannya!”
Entahlah, mungkin peredaran darah di otakku sudah membeku sehingga aku dapat berbicara pada angin. Aku bisa mengatakannya, aku bisa!

****
Bagaimana jika sekarang kita bertukar peran? Kau sanggup? Atau kau perlu berpikir lagi? Berpikir bagaimana jika kita bertukar peran. Aku jadi kau, dan tentu saja kau menjadi diriku. Berpikir bagaimana sakitnya menjadi aku. Kau ingat? Oh, tentu saja. Aku yakin, kau masih mengingat semua kejadian yang telah menjadi kenangan terpahit dalam hidup kita. Ah, bukan! Bukan kita, tapi hanya aku. Kenangan terpahit dalam hidupku, tentu saja saat menjalani hari-hari bersamamu. Aku bahagia, sangat bahagia. Tetapi aku sadar, kebahagiaan yang ku rasakan itu hanya sesaat. Hanya kebahagiaan semu, seperti dirimu, semu.

Sudah membuat keputusan? Keputusan yang tadi aku tanyakan. Bagaimana jika sekarang kita bertukar peran? Aku jadi kau, dan kau menjadi diriku. Aku sangat berharap kau mengatakan ya, tapi yang ku dengar hanyalah jawaban yang membuatku merasa ingin menamparmu sekarang juga, seperti suara angin yang telah mengejekku. Jawaban itu keluar jelas dari bibirmu tanpa perasaan bersalah sama sekali. Sungguh hebat!
“Apa maksudmu? Bertukar peran? Kejadian dan keadaan apa yang membuatmu ingin bertukar peran denganku?”
Sungguh pertanyaan tak masuk akal! Baiklah, ini permintaanmu. Aku akan memutarbalik rekaman kehidupanku yang indah saat bersamamu. Mungkin tidak hanya indah, tapi juga menyakitkan. Aku akan menunjukkan padamu semuanya agar kau tahu mengapa aku ingin bertukar peran. Mari kita ucapkan selamat datang pada kenangan busuk ini.

****
Semua berawal sangat indah. Kau seorang lelaki yang sangat diam, sedangkan aku wanita yang tidak pernah diam. Kita berbeda, semua tau hal itu. Hari makin berlalu dan kau menjadi semakin tidak kaku untuk berbicara bahkan menyampaikan segelintir lelucon yang membuat aku terbahak. Awal yang sangat indah, seolah kau menerimaku tanpa melihat kekuranganku. Mereka mengatakan kita berbeda, tapi aku akan membuktikan bahwa kita bisa bersama dengan perbedaan ini.

Memang awal yang sangat indah. Aku ingat, kau pernah menungguku sampai kau kehujanan di saat aku sedang tertidur di rumah. Kau masih menungguku kala itu. Hatiku semakin luluh saat tau hal itu. Pertama kali kau mengutarakan isi hatimu, aku hanya diam tanpa tahu harus berkata apa. Aku selalu mengelak karena aku tahu kita berbeda. Tapi teman-temanmu mengatakan kau masih akan terus berjuang. Aku sangat menghargai perjuangan itu.

Hingga saatnya tiba, kau mengutarakan perasaanmu untuk kesekian kalinya. Aku sudah tidak bisa mengelak. Aku yakin, aku telah mempunyai perasaan yang sama. Dunia terasa sangat indah saat itu. Semua terasa indah sampai hari ke-45. Kau memang tidak berubah, tapi aku melihat ada sesuatu yang kau sembunyikan. Sesuatu yang tidak pernah aku tahu selama ini. Sesuatu yang membuatmu membohongiku. Sesuatu yang membuatku terlihat bodoh di matamu. Sesuatu yang tidak pernah kau ingin aku untuk mengetahuinya. Tuhan tidak tidur. Tuhan selalu mengamatimu dari sana. Aku yakin Ia sayang padaku sehingga Ia ingin aku mengetahui semuanya. Semua tentangmu, dan dia.

Kau masih menghubunginya. Wanita yang pernah ada di hidupmu sebelum aku. Wanita yang pernah bersamamu sebelum aku. Wanita yang selalu ada saat kau butuh sebelum aku. Wanita yang selalu membuatmu tersenyum sebelum aku. Wanita yang kau anggap bidadari sebelum aku. Wanita yang sangat menyayangimu sampai sekarang, sama sepertiku. Ya, aku mengetahui itu semua. Kau pernah bilang padaku kalau kau sudah tidak pernah menghubunginya, dan tidak akan pernah lagi. Ini peran pertama kau sebagai aku. Kau yang aku bohongi, dan aku yang membohongimu. Aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan. Mudah, kan? Hanya dengan berkata,
“Benar? Kau tidak bohong? Baiklah, aku percaya padamu.”
Ingatkah kamu aku pernah berkata demikian? Sangat mudah.

****
Sesungguhnya aku tidak tahu sudah berapa kebohongan yang kau katakan, dan aku selalu percaya. Aku selalu percaya padamu begitu saja tanpa tahu bagaimana kenyataannya. Sekarang aku akan membuatmu mengingat kejadian ini lagi. Aku ingat, hari Jumat, saat aku sedang latihan untuk ujian, kau pulang terlebih dahulu. Kau mengatakan padaku akan pergi ke rumah temanmu. Aku tidak mengenal temanmu itu sehingga aku dengan mudah percaya padamu. Sampai saatnya tiba, dua orang temanku mengatakan,
“Hari Jumat yang lalu saat aku dan Linda jalan-jalan, kami melihat Radit disana. Kami kira ia denganmu, tapi ternyata ia bersama Vina.”
Bagaikan didorong dari gedung lantai 58 oleh sekelompok orang-orang yang membawa senjata tajam. Aku diam. Darahku terasa naik ke otak dengan kecepatan penuh. Dadaku terasa sesak hingga sulit bernapas. Aku harus apa? Harus percaya siapa? Awalnya aku tidak mau percaya pada mereka, hingga akhirnya aku menanyakan padamu. Kau ingat?

Ini peran kedua untukmu, dan lagi-lagi kebohongan yang membuatku sakit. Kau yang aku bohongi dan aku yang akan membohongimu. Aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan. Degupan jantung yang lebih cepat dari biasanya, darah yang langsung naik ke otak, rasa sesak napas, dan tidak tahu harus berkata apa. Kau harus menjadi diriku, agar kau tahu rasanya dibohongi seakan-akan kau terlihat bodoh nantinya. Sangat mudah, cukup dengan berkata,
“Mengapa kau berbohong? Mengapa kau lakukan itu?”
Kau pasti ingat aku mengatakannya saat itu dengan senyuman yang menahan amarah. Asal kau tahu, kepalaku sudah mulai panas saat itu, suaraku sudah mulai bergetar, air mata aku tahan agar mereka tidak keluar dan menyapamu, dan tanganku sudah aku jadikan kaku agar tidak ringan untuk menampar pipimu. Rasakan bagaimana rasanya menjadi aku.

Aku sudah mengetahui semuanya, dan kebohonganmu tidak berhenti sampai disana. Sebenarnya masih banyak kebohongan lain yang kau katakan, tapi saat ini aku akan mengingatkan kembali padamu kebohongan-kebohongan yang membuatku menjadi orang paling bodoh di matamu. Ini yang paling aku ingat. Kau selalu mengatakan padaku, “aku hanya akan pergi jika kamu yang meminta, dan aku tidak akan pernah kembali padanya.” Sungguh pernyataan yang sangat indah yang pernah ku dengar. Tapi buktinya? Setelah kamu berbicara seperti itu, dengan mudah kamu meminta agar kita tidak bersama lagi. Alasanmu cukup masuk akal, karena tidak ingin membuatku menangis dan merasa sakit lagi. Dengan mudah kau ucapkan itu semua, di saat aku sedang merasa kesepian dan kau izin untuk pergi. Aku ingat malam itu. Malam dimana kau menyatakan untuk pergi. Malam itu aku ingin tegar. Aku tahan air mataku saat kau mengelus kepalaku dan mengecup keningku untuk yang terakhir kali. Aku ingin memelukmu, tapi semua anggota tubuhku terasa kaku. Aku lupa cara untuk menggerakkan ini semua. Yang aku inginkan saat itu, ketika kau melepaskan kecupanmu dari keningku dan aku membuka mata, aku ingin menjadi amnesia. Aku melupakan segalanya dan tentu saja melupakan rasa sakit ini. Tak lama, aku mendengar kabar kau kembali padanya. Sungguh lucu kehidupan ini. Sungguh lucu manusia yang ada di dunia ini. Kau bagaikan menjilat ludahmu sendiri. Kini sudah jelas, siapa aku dimatamu yang sebenarnya. Tidak lebih dari pelarian. Ya, aku hanya menjadi pelarian dan pelampiasanmu saja agar ia bisa kembali padamu. Sungguh lelucon yang memuakkan!

Inilah peranmu yang ketiga. Kau menjadi aku dan aku menjadi dirimu. Di saat kau sedang mencintai seseorang, lalu orang itu pergi dengan alasan yang kurang menjelaskan untukmu. Apa yang akan kau lakukan? Kau bingung? Ingin marah tapi tak bisa? Ya, itulah yang aku rasakan dan aku ingin kau merasakannya juga. Merasakan akibat dari perlakuanmu padaku.

****
Tidak sampai disini karena kau tidak langsung pergi begitu saja dari hidupku. Kau masih menghubungiku dan mengatakan masih mempunyai rasa yang sama padaku. Aku senang karena aku juga demikian, tapi setelah aku pikir-pikir, betapa bodohnya diriku saat itu. Sudah dibohongi untuk kesekian kalinya tapi masih punya rasa yang sama. Kau selalu mengajakku pergi. Aku ingat semua bagian ini, sangat ingat. Sayangnya, aku tidak ingin mengingat-ingat kembali. Tapi aku juga tidak ingin melupakan itu semua. Seperti kata Slank, terlalu manis untuk dilupakan. Sangat cukup untuk aku mengetahui siapa kamu yang sebenarnya. Dan aku ingin kita bertukar peran. Dari awal sampai akhir. Dari mulai aku diterbangkan ke atas awan, hingga kau menjatuhkanku ke jurang yang paling dalam, agar kau tahu rasanya menjadi aku.

Mengapa kau menunduk? Jangan diam saja, ayo bicaralah! Kita mulai semua dari awal, dengan posisi yang berbeda. Kau jadi aku dan aku menjadi dirimu. Kau yang aku bohongin dan aku yang membohongi. Kau yang aku tinggalkan dan aku yang meninggalkan. Kau yang merasakan sakit dan aku yang membuat sakit. Cukup adil, kan? Bukan, ini bukan balas dendam. Aku hanya ingin kita adil. Adil sebagaimana mestinya seperti yang kita pelajari di sekolah dasar dahulu. Kita dituntut untuk bersikap adil pada semua orang.

Kau masih belum menjawab permintaanku. Kau tidak mau menjadi aku? Sangat mudah, hanya percaya, percaya, dan percaya. Sampai sulit membedakan, aku ini terlalu baik atau terlalu bodoh? Sangat mirip. Ya, baiklah kalau kau memang tidak mau, aku juga sudah mengikhlaskan semuanya. Sudah merelakan semua yang terjadi. Aku beranggapan bahwa Tuhan masih sangat menyayangiku. Ia mematahkan hatiku agar aku sadar dan tahu semuanya. Agar aku dapat membedakan mana yang baik dan tidak untukku. Aku hanya ingin berpesan padamu, cukuplah aku yang menjadi seperti ini karenamu, jangan ada wanita lain yang merasakan seperti aku ini. Jika kau saja tak ingin seperti aku, apalagi mereka yang hanya mengetahuimu dari luar saja? Pasti tidak ada yang ingin. Tolong jangan menunduk seperti itu lagi. Aku hanya ingin berterima kasih atas rasa sakit ini. Sehingga aku dapat lebih selektif untuk mendapatkan penggantimu. Tentu saja ia bukan sepertimu.