Malam
ini aku disini, tempat dimana kita pernah berdua. Berbagi cinta, bertukar
rahasia. Bersama aroma tumbuh-tumbuhan yang memandang iri.
Hangat,
seperti irama jazz yang mengalun
lembut. Tatapanmu yang selalu membuatku meleleh seperti es krim cokelat yang
pernah ku beri saat itu.
Desahan
suaramu yang selalu menenangkan terdengar di telingaku, “Ray…..,” bisikmu. Dan
kita pun duduk berhadapan. Kau menatapku lekat. Mencoba bertukan pikiran
kembali. Tapi aku sangat tak mampu.
Disini,
saat ini aku membisu. Di taman yang mempertemukan kau dan aku.
Senja
dan Ray.
* * * *
“Maaf
lama menunggu,” suara yang sangat aku rindukan itu memecah keheningan.
“Tidak,
tidak apa-apa.”
“Ada
apa? Bosan menunggu?”
“Aku
tak pernah bosan untuk menunggumu.”
Kami
terdiam sejenak. Tatapan mata itu seolah memberi isyarat.
“Sampai
kapan kita akan seperti ini, Senja? Maksudku, kau.”
“Aku
tak tahu. Kau bosan? Atau keberatan?”
“Tidak.”
“Lalu
kenapa bertanya?”
Aku
tak bisa menjawabnya. Hening. Tangannya menggenggam telapak tanganku dengan
lembut dan terasa erat.
“I love you, Ray.”
“Aku
tahu.”
“Lalu?”
“Ya,
aku tahu itu.”
Kami
kembali terdiam. Kali ini benar-benar diam. Hening. Hanya suara desahan angin
yang seakan mengerti perasaanku saat ini. Mencoba menghiburku dengan senyum
indahnya.
Air
mata jatuh dari salah satu pelupuk matanya. Senja, andai kau tahu, aku sangat
ingin menghapus air mata itu. Tangan ini tak mampu ku gerakkan ke pipi meronamu
itu. Aku hanya menunduk. Tertunduk menahan bendungan air mata ini. Aku tak
ingin kau melihatnya, Senja.
* * * *
Sore ini aku kembali berada di taman
ini. Duduk di salah satu kursi taman tepat di depan air mancur. Segelas kopi
panas yang ku beli di café seberang taman, kembali menemani. Aku mengeluarkan
buku catatan dan pena dari saku. Entah apa yang akan ku tulis kali ini. Tak ku
pedulikan orang yang berlalu lalang di depanku. Karena aku tahu, tak akan ada
yang datang untukku. Setidaknya untuk saat ini.
Halaman buku catatan yang saat ini di
tangan masih kosong. Aku masih tak tahu harus menulis apa. Sebenarnya ingin
sekali aku mengeluarkan apa yang ku rasakan saat ini, tapi sangat sulit untuk
merangkai kata-kata itu.
Aku lemah. Ku letakkan buku catatan
dan penaku di atas kursi di sebelah kopi. Aku membungkuk, menutup wajah,
mencoba menenangkan diri. Aku sudah tak bisa membendung air mata ini lagi. Ku
seka air mata dengan telapak tangan. Aku berbisik pada diriku sendiri,
“Senja…..”
Tak lama, Senja duduk di sebelahku.
Dia menggenggam tanganku dengan penuh perasaan.
“Senja…..”
Dia tak bersuara. Hanya menyunggingkan
senyum indah yang membuatku lebih tenang.
“Kenapa ada disini, Ray? Bukankah kau
sudah tak mau lagi bertemu denganku?”
“Aku tak pernah berkata seperti itu.”
“Bukan mulutmu yang berkata.”
“Lalu?”
“Matamu yang mengisyaratkan seperti
itu. Kau sudah tak banyak bicara saat bertemu denganku, jadi ku simpulkan
seperti itu.”
“Bukan begitu.”
“Lalu apa?”
Aku benar-benar diam. Tak bisa
menjawab. Ingin rasanya aku teriak dan mengeluarkan seluruh air mata ini.
“Jangan terus-terusan membendung air
mata, Ray.”
“Aku sedang berusaha.”
“Lebih baik kita bicara daripada
berbagi air mata seperti ini.”
“Ya, aku tahu.”
Sunyi sejenak. Aku menundukkan kepala.
Terlihat tanganku masih digenggam Senja. Tak lama, Senja menyandarkan kepalanya
di atas bahuku. Aku hanya diam. Tak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini.
“Jadi, bagaimana hidupmu sekarang,
Ray?”
“Sangat tidak menyenangkan.”
“Jangan begitu……”
“Kenyataannya seperti itu, Senja.
Andai kau dapat bersamaku lagi.”
“Kau tahu, itu tidak mungkin, Ray.”
“Aku hanya berharap.”
Hening sejenak. Seperti sedang
berpikir topik pembicaraan selanjutnya.
“Bagaimana kabarnya?”
“Siapa?”
“Kelly.”
“Baik. Sepertinya dia merindukanmu.”
“Dan kau?”
“Tentu. Sangat. Kalau tidak untuk apa
aku kesini setiap hari?”
“Untuk mengenang pertama kali kita
bertemu, mungkin.”
“Dan juga terakhir kali kita bertemu.”
“Jangan begitu…..”
“Kenyataannya seperti itu. Di tempat
ini pertama kali kita bertemu, dan disini pula tempat terakhir kali kita
berjumpa.”
“Jangan teruskan. Tolong.”
Aku menatap wajahnya. Dia tertunduk
menahan air mata. Tak ku pedulikan orang-orang sekeliling menatapku dangan
tatapan heran dan merendahkan.
Hari sudah gelap. Bulan menyunggingkan
senyuman indah mengingatkanku pada seseorang yang sudah menungguku di rumah.
“Aku harus pergi, Senja.”
Buku catatan dan pena ku rapikan di
saku. Aku meneguk habis kopi yang memang sudah tersisa sedikit dan membuang
gelasnya ke tempat sampah.
“Selamat tinggal, Ray. Hati-hati. Aku
sangat mencintaimu, Ray.”
* * * *
Rumah tampak sepi. Sepertinya Kelly sudah tidur, pikirku.
Tapi saat aku membuka pintu, Kelly langsung menyambutku dengan memeluk tubuh
ini erat.
“Dari mana?”
“Mau tahu saja.”
“Aku kangen.”
“Sama, dong!”
“Kenapa perginya terlalu lama?”
Aku hanya tersenyum dan mencium kening
Kelly dengan lembut.
“Kenapa belum tidur?”
“Tidak bisa.”
“Menunggu, ya?”
Kelly mengangguk. Lalu kami masuk
kamar dan naik ke tempat tidur. Mencoba memejamkan mata beristirahat. Tak lama
kemudian, suara Kelly membuatku membuka mata lagi.
“Ada apa?” Tanyaku.
“Ayo cerita….”
“Cerita apa, Kelly?”
“Kemana dan ngapain saja hari ini?”
“Ngapain,
ya? Sepertinya selalu berada di tempat yang sama dan melakukan aktifitas yang
sama setiap hari. Terlalu bosan untuk diceritakan.”
“Aku juga, tapi aku tak pernah bosan.
Mau dengar ceritaku saja?”
“Sudah malam, lebih baik kita tidur
sekarang. Ceritanya lanjutkan besok saja, bagaimana?”
“Besok kapan? Kita tidak pernah ada
waktu untuk bersama. Hanya sarapan pagi saja, setelah itu sibuk dengan urusan
masing-masing.”
“Ya sudah, ceritakan sekarang.”
“Sudah malam, lebih baik kita tidur
sekarang. Ceritanya lanjutkan besok saja,” Kelly menirukan kata-kataku
Lalu aku tertawa. Dunia seperti kembali
bersemi saat bersama Kelly.
“Sudahlah lebih baik kita tidur, sudah
larut. Selamat malam, Kelly.”
Aku mencium keningnya dengan lembut
ketika matanya sudah terpejam. Aku
menyayangimu, Kelly. Begitu juga kau, Senja, desahku perlahan
* * * *
Pagi hari, Kelly sudah berada di ruang
makan. Sarapan sudah ia siapkan di atas meja makan.
“Nanti malam langsung tidur saja,
tidak usah menunggu,” kataku membuka percakapan.
“Memang kenapa?”
“Nanti kecapaian kalau menunggu sampai
malam.”
“Mau kemana hari ini? Aku boleh ikut?
Aku kan libur hari ini.”
“Mau ikut? Hmm….,” aku ragu.
“Kalau boleh. Kalau di rumah saja
bosan sendirian. Aku hanya ingin menemani.”
Aku berpikir, lalu menjawab,
“Tidak usah, sendiri juga tidak
apa-apa.”
“Ya sudah kalau begitu,” raut mukanya terlihat
kecewa. “Tapi jangan pulang malam-malam, ya?”
“Kenapa?”
“Nanti aku kangen.”
* * * *
Taman ini adalah taman kita. Kau dan
aku. Senja dan Ray.
Tapi mengapa taman ini seperti berbeda
dari biasanya?
Kau duduk di sebelahku. Hening. Tanpa
suara.
Aku bergeser dan menghadapmu agar
dapat melihat wajahmu yang muram lebih jelas. Wajah yang begitu dingin, sedih,
dan pilu.
“Ada apa?” Tanyaku memecah keheningan.
“Tidak.”
“Wajahmu tak bisa bohong, Senja. Aku
tahu betul dirimu. Ceritakan saja.”
“Karena kau tak mengajak Kelly
kesini.”
“Aku hanya ingin berduaan saja
denganmu saat ini.”
Senja memalingkan wajahnya dari
hadapanku. Menunduk menatapi tanah. Menunda laju gelombang percakapan. Aku menatap
wajahnya, berusaha menyampaikan harap lewat binar mataku.
“Aku ingin kita kembali, Senja.”
“Tidak mungkin, Ray. Kita sudah pernah
bicarakan ini.”
“Tapi aku tak bisa jauh darimu.
Sungguh….”
“Kau masih punya Kelly.”
“Iya, tapi semua tidak sama, Senja.
Aku butuh kamu.”
“Kelly juga membutuhkanmu, Ray.”
Aku menahan napas sejenak.
Menghentikan percakapan. Aku tutup mataku dengan sapu tangan yang baru saja ku
keluarkan dari saku untuk menyeka air mata yang tak bisa lagi ku bendung.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Seorang tukang sapu yang tampak bingung melihatku terisak sendirian.
“Tidak, tidak apa-apa. Terima kasih,”
aku menjawab dan memastikan air mataku sudah tak terlihat. Tukang sapu itu pun
segera pergi.
Aku dan Senja terdiam beberapa saat.
Aku melihat Senja terus-menerus mengeluarkan air mata. Dan aku beberapa kali
menyeka air mata yang membendung di pelupuk mata ini.
Senja
masih menangis. Air matanya mengalir ke arahku, seolah ingin menyampaikan pesan
tersirat. Aku menggenggam erat tangannya agar ia dapat merasa lebih tenang
untuk menyampaikan pesan itu. Senja menatapku dengan tatapan mata yang
berlinang air mata.
“Kita takkan bertemu lagi, Ray…”
“Kenapa, Senja? Jangan tinggalkan
aku…”
“Terima kenyataan, Ray. Mulailah hidup
barumu bersama Kelly.”
“Tanpamu? Itu takkan mungkin!”
“Please,
Ray, lupakan aku.”
“Aku…. Aku tidak bisa, Senja.”
“Harus! Kamu harus bisa melupakan aku!”
Pelupuk mata ini sudah tak kuat lagi
menampung air mata. Senja beranjak dari tempat duduknya. Perlahan menghilang
bersamaan dengan hembusan angin malam yang mungkin akan mengantar Senja
berlalu. Aku pun beranjak dari tempat dudukku. Ku genggam tangannya, mencoba
menahan kepergiannya yang diiringi keheningan angin malam.
“Senja…. Senja, jangan pergi!”
“Maafkan aku, Ray. Tolong jaga Kelly, our lovely daughter. Untukku. Bye, Ray...”
“Aku akan menjaganya, tapi tolong
jangan pergi, Senja!”
“Maaf, Ray. Aku akan selalu mencintai kalian, Ray, Kelly.”
“Kami juga akan selalu mencintaimu,
Senja. Kami butuh kamu…”
Senja menghilang dari hadapanku. Aku
kembali terduduk lemah. Tak berdaya.
Aku menatap tempat Senja biasa
bersandar padaku. Kosong. Senja benar-benar hilang. Yang tersisa hanyalah malam
pilu, di tengah lampu-lampu taman yang sekarang menjadi kenangan.
“Selamat tinggal, Senja….,” bisikku
perlahan.
* * * *
Aku sampai di rumah sekitar pukul 10
malam. Terlihat lampu ruang tengah masih menyala. Saat aku masuk, Kelly
langsung memelukku erat.
“Habis menangis? Ada apa?” Tanya Kelly
saat melihat wajahku.
“Tidak apa-apa.”
“Aku mau cerita. Kali ini tolong
dengarkan, ya?”
Kelly menarikku ke kursi. Ia
menyuruhku duduk kemudian mendengarkan ceritanya. Aku hanya tersenyum melihat
tingkah manjanya itu.
“Baik, sekarang coba ceritakan.”
“Tadi ada yang menelepon, suaranya
seperti ibu-ibu. Dia bilang mau cari ayah, tapi aku bilang ayah belum pulang.
Terus, kami mengobrol. Dia menanyakan bagaimana keadaanku, sekolahku, dan yang
lainnya. Lalu dia bertanya apa aku kesepian. Aku bilang, aku sempat merasa
sedih waktu ibuku meninggal. Tapi aku tidak kesepian karena aku masih punya
ayah yang sangat sayang padaku.”
Aku memeluk Kelly. Erat. Mencium
keningnya. Aku merasakan air mata di pelupuk ini.
“Kenapa? Ceritaku bikin sedih, ya?”
“Tidak, Kelly…. Teruskan.”
“Lalu dia bertanya tentang ayah. Aku
bilang ayahku selalu pulang malam, tapi aku selalu menunggunya karena aku tidak
mau tidur sendirian. Aku juga ingin ketika ayah baru sampai rumah dan wajahnya
terlihat lelah, saat dia melihatku jadi semangat lagi. Terus aku bilang setiap
ayah sampai di rumah, pasti ia selalu memelukku erat dan mencium keningku
dengan penuh rasa sayang. Seperti sekarang ini, ya kan?”
“Kelly, apa kamu bertanya siapa
namanya?”
“Tunggu, aku belum selesai cerita. Dia
bertanya apa aku sayang pada ayahku. Tentu saja aku menjawab aku sangat sayang
pada ayah. Ayah segalanya untukku. Lalu ibu-ibu itu menyuruhku untuk selalu
menyayangi dan menjaga ayah baik-baik. Aku penasaran dia siapa. Saat aku
bertanya nama ibu siapa, dia bilang namanya Senjani Putri. Wah, kataku, namamu seperti ibuku, Senja, tapi aku tidak tahu siapa
nama lengkap ibuku. Lalu dia bilang dia harus pergi, setelah itu dia pamit dan
menutup teleponnya.”
Jantungku berdegup kencang. Aku
menatap wajah Kelly lekat-lekat.
“Kamu tidak berbohong, kan, Kelly?”
“Tidak, untuk apa aku bohong? Aku kan
tidak pernah berbohong.”
Aku tersenyum padanya. Kemudian aku
membawanya ke tempat tidur. Saat kami sudah berbaring untuk tidur, Kelly
mendekatkan kepalanya ke telingaku. Kemudian ia berbisik,
“Oh iya, aku lupa. Tadi ibu-ibu itu
menitipkan pesan. Katanya Senja sayang Ray dan Kelly. Eh, itu kan tulisan yang ada di foto itu, ya?”
Aku melihat ke arah foto yang
diletakkan di atas meja samping tempat tidur. Di foto itu terlihat Senja sedang
menggendong Kelly yang masih bayi, dan aku disampingnya. Senja yang membingkai
foto itu dan menuliskan tulisan “Senja sayang Ray dan Kelly” di atas fotonya.
Baru saja aku akan menyampaikan sesuatu
pada Kelly tapi ternyata dia sudah tertidur. Samar-samar aku melihat bayangan
Senja di sudut kamar. Dia tersenyum dan
berbisik,
“Aku menyayangimu, Ray. Jaga Kelly
untukku, ya?
“Aku juga menyayangimu, Senja…,”
sahutku perlahan sambil mengusap kepala Kelly.
16 Desember 2014