Minggu, 30 Agustus 2015

KENYAMANAN

Dalam kehidupan, terlalu banyak sifat orang-orang yang (mungkin) berbeda. Dari perbedaan itulah kita harus lebih bisa menyesuaikannya satu sama lain. Tidak hanya sifat, perbedaan seseorang dengan orang lainnya juga dapat terlihat dari banyak hal, misalnya umur, agama, suku, warna kulit, warna rambut, dan masih banyak lagi. Harusnya kita bersyukur dengan perbedaan yang ada. Bayangkan jika kita hanya berhadapan dengan orang-orang yang mempunya sifat yang sama dengan kita, akan berantakan bukan? Tak ada yang dapat meredam amarah karena semua pemarah, tak ada yang mau mengalah karena semua egois. Ya, itulah kehidupan. Semua butuh perbedaan.
Kenyamanan. Kita semua butuh rasa nyaman. Tidak hanya terhadap lingkungan, kita harus mendapatkan kenyamanan yang kita inginkan juga dari orang-orang terdekat. Jika teman sekelas kita ada yang mempunyai kebiasaan aneh, apa dia akan dijadikan sebagai teman dekat? Tentu tidak, karena dia tidak membuat kita nyaman, meski pun kita dari suku yang sama, agama, umur, bahkan warna kulit pun sama. Kenyamanan seseorang tidak dapat terukur dari berbagai hal yang sama, begitu juga dengan pasangan hidup.
Mendapatkan pasangan yang membuat kita nyaman itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Selama hidup, kita tentu sudah bertemu dengan ratusan, bahkan ribuan orang, tapi hanya beberapa di antara mereka yang membuat kita nyaman. Kata ‘nyaman’ pun tak selalu diartikan untuk pasangan. Itu juga dapat diartikan untuk teman dan sahabat. Ada kalanya kita merasa beberapa orang lebih nyaman dijadikan teman biasa, beberapa sebagai sahabat, tetapi hanya satu yang membuat kita lebih nyaman untuk dijadikan pasangan.
Indonesia, negeri yang memiliki ratusan suku dan mengikat banyak aturan. Aturan-aturan itulah yang sering memecahkan kenyamanan seseorang pada orang lainnya. Perbedaan itu memang indah, tapi tak selamanya yang indah itu disetujui. Ya, katakanlah perbedaan agama. Sepasang kekasih yang sudah saling nyaman satu sama lain harus terpisah karena perbedaan agama. Tapi tidak sedikit juga dari mereka yang merasakan perbedaan itu harus bertahan memperjuangkan apa yang mereka inginkan. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya hidup bersama dalam sebuah perbedaan. Perbedaan yang mungkin dapat dikatakan sebagai masalah terbesar, tapi sekali lagi, itulah kenyamanan. Rasa nyaman yang mengubah segalanya. Rasa nyaman yang membutakan diri seseorang, sehingga tak lagi dilihatnya sebuah perbedaan.
Tidak hanya agama, perbedaan pada sepasang kekasih masih sangat banyak, misalnya perbedaan suku. Tak jarang ada orang tua yang melarang anaknya berhubungan dengan orang lain karena sukunya berbeda. Orang tua terkadang masih percaya dengan apa yang dikatakan orang-orang zaman dahulu. “Si A tidak boleh berhubungan dengan si B karena suku B memiliki sikap keras kepala” atau “si A tidak akan pernah menjalin dengan hubungan dengan si B karena suku B termasuk orang-orang pelit”. Masih banyak lagi. Banyak. Kita memang paling tidak suka apabila orang tua ikut campur dalam hubungan yang kita jalani terutama menyangkut suku. Tapi tidak sedikit pula yang berhasil meluluhkan hati orang tua sehingga perbedaan suku ini berada dalam satu atap hingga maut memisahkan. Itulah kekuatan dari kenyamanan. Kenyamanan dapat meruntuhkan segala dinding tebal yang menghalangi.
Perbedaan umur dan latar belakang keluarga masih sama halnya dengan di atas tadi. Jika bersungguh-sungguh, semua akan terkalahkan oleh rasa nyaman. Rasa nyaman akan memudarkan semua perbedaan itu. Lalu bagaimana dengan perbedaan kebiasaan tapi merasakan kenyamanan satu sama lain?
Perbedaan kebiasaan tapi merasakan kenyamanan. Itu memang banyak terjadi atau jarang terdengar jadi terlihat jarang terjadi. Perbedaan kebiasaan yang dimaksud disini misalnya seseorang yang dapat dikatakan pintar, rajin belajar, rajin beribadah, dan rajin segalanya bertemu dengan seseorang yang pemalas, jarang beribadah, jarang belajar, kebiasaan yang dilakukan hanya berman dan juga berbelanja. Di balik perbedaan itu, mereka menemukan rasa nyaman kepada satu sama lain, walau pun rasa nyaman itu tidak pernah mengubah kebiasaan buruk menjadi baik dan kebiasaan yang kaku menjadi seperti biasa. Karena tak ada kebiasaan yang dapat diubah, terkadang terlintas dalam pikiran, “haruskah saya pergi karena dia tak baik untuk saya?” atau, “haruskah saya pergi karena dia terlalu baik untuk saya?”
Tentu tak jarang bukan perbedaan seperti itu? Tapi itulah kekuatan dari rasa nyaman. Walau pun tak dapat mengubah apa pun, karena sudah saling nyaman, sangat sulit untuk melepaskan. Sekali pun berpisah, pasti merasa ada yang kurang dari apa yang sedang dijalaninya itu. Bukan kehilangan pasangan, itu adalah perasaan kehilangan rasa nyaman yang sudah didapatkan sejak lama. Memang tak mudah jika harus kehilangan yang telah didapat, karena harus mulai dari nol. Kosong tanpa isi, mencari dan menunggu, dan sekali lagi, rasa nyaman itu tak mungkin didapatkan dengan mudah, seperti membalikkan telapak tangan.

Selasa, 11 Agustus 2015

JIKA....




Jika kamu bukan seseorang itu, lalu mengapa jiwaku merasa senang hari ini?
Jika kamu bukan seseorang itu, lalu mengapa tanganku begitu pas dengan tanganmu?
Jika kamu bukan milikku, lalu mengapa hatimu menjawab panggilanku?
Jika kamu bukan milikku, apakah aku memiliki kekuatan untuk berdiri?
****
Hai, akhirnya kita bertemu lagi setelah dijauhkan oleh waktu yang cukup lama. Aku mengajakmu ke tempat ini hanya untuk melepaskan rasa rindu yang telah lama aku pendam. Tanpa kabar dan gurauan. Aku tahu ini salahku yang telah memilih untuk merantau demi pendidikan yang aku ingin. Ya, ini salahku.
“Randi,” suara itu kembali menggema di telingaku setelah enam bulan aku tak mendengarnya lagi. Aku masih tak menyangka kamu masih mau untuk menyebut namaku, bahkan bertemu denganku. Tak pernah sekali pun aku mendengar kamu rindu padaku, jadi dapat kusimpulkan kalau kamu sudah membenciku saat itu. Ya, saat itu yang berbeda dengan sekarang. Sekarang aku sudah kembali, dan aku sangat rindu padamu, Bia.
Hari ini aku ingin menghabiskan waktuku hanya berdua denganmu, tak ada yang lain. Aku memang tak melihat rona bahagia atau pun kecewa di wajahmu, tapi aku senang karena kamu mengiyakan ajakanku. Aku ingin menebus semua rasa bersalahku karena telah meninggalkanmu tanpa kabar.
Di taman ini, aku ingin melihat senyummu. Senyum yang tak dapat ku lihat selama enam bulan lalu. Dan aku ingin senyuman itu karena aku. Ya, hanya untukku. Aku tahu, aku bukan siapa-siapa untukmu. Mungkin kamu hanya menganggapku teman biasa, tapi tak apa. Sudah sejak duduk di bangku SMP kita kenal dan memang dekat sudah cukup lama, tapi aku takut untuk mengungkapkan semua ini. Aku tahu ada seseorang dari masa lalumu yang masih dekat denganmu. Mungkin kamu masih punya perasaan yang sama. Sama seperti dulu sebelum kalian memutuskan untuk berpisah.
Bangku taman berwarna cokelat ini menjadi saksi. Kamu mengajakku duduk untuk melihat tanaman di sekitar taman. Aku tahu kamu sangat menyukai tanaman, bunga, dan kupu-kupu. Senyuman itu kini kembali hadir di depan mataku. Terima kasih, Tuhan, senyuman itu datang kembali karenaku. Cuaca hari ini yang sangat cerah, membuatku ingin lebih lama disini tanpa harus melihat gelapnya malam. Aku benar-benar tak ingin berpisah darimu, Bia.
Kamu sangat suka dengan anak kecil, aku tahu itu. Jadi saat kamu meminta izin untuk menghampiri anak perempuan yang mungkin baru bisa berjalan itu, aku tentu mengizinkannya.
“Lihat deh, Ran, lucu banget itu anaknya. Aku kesana, ya? Aku mau ajak main, boleh ya?”
“Iya, Bi, kesana aja.”
Sementara kamu bermain dengan anak itu, aku membeli minuman yang tentu saja kesukaanmu. Aku juga membelikan permen lollipop kesukaanmu. Tak perlu heran, aku memang tahu semua kesukaanmu tanpa harus bertanya apakah kamu tahu kesukaanku. Mungkin tahu, walau pun tak banyak. Kamu pernah membuatkan makanan dan minuman kesukaanku. Menurutku itu sudah sangat cukup. Jiwa ini telah merasakan kebahagiaan.
****
Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan
Namun ku tahu kamu ada disini bersamaku
Kita akan melewati ini
Dan aku berharap kamulah seseorang yang akan berbagi hidup dengaku
****
Rasanya ingin sekali aku meminta maaf dan mengungkapkan semuanya padamu saat ini juga, tapi aku harus sadar, aku bukan siapa-siapa di matamu. Tapi jika bukan, mengapa seakan-akan kamu menjawab panggilan hatiku ini? Aku ingin meminta maaf karena telah hilang kabar selama enam bulan. Sebenarnya saat itu aku sangat berharap jika kamu yang menanyakan kabarku terlebih dahulu. Tapi sekarang aku sadar, kamu adalah seorang wanita. Seorang wanita baik yang tak mungkin untuk memulai. Aku sangat mengerti sekarang, karena jika kamu memulai, kamu takut jika tak ditanggapi. Mungkin itu alasannya.
Sekarang aku baru mengerti semua setelah aku menceritakan ini pada teman wanitaku disana, Zena. Dialah orang yang membuatku sadar bahwa ada perbedaan antara wanita dan pria dalam hal percintaan. Tapi aku ragu, apakah kamu benar-benar tidak marah padaku? Kamu tidak bertanya kemana saja aku selama ini sehingga tak ada kabar. Kamu hanya menanyakan bagaimana pendidikanku disana. Tapi aku senang, karena artinya kamu masih peduli dengan pendidikanku.
Kamu seorang wanita yang cerdas, sementara aku hanya pria pemalas. Terkadang aku suka berpikir apakah aku pantas menjadi pendampingmu? Aku selalu ingat ceritamu tentang mantan kekasihmu yang dapat diumpamakan hampir sempurna. Sedangkan aku? Ah, tapi aku selalu senang dapat membuatmu tersenyum dan tertawa setiap hari, tidak seperti dia yang hanya bisa membuatmu menangis. Namun, kita takkan pernah tahu apa yang terjadi di masa depan nanti.
****
Aku tak ingin berlari tapi aku tak kuat menahannya, aku tak mengerti
Jika aku tidak ditakdirkan untukmu,
lalu mengapa hatiku mengatakan bahwa akulah takdirmu?
Adakah cara lain agar aku tetap ada dalam dekapanmu?
****
Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang ku rasa saat ini. Seperti ada yang ingin berontak dalam hati. Jantungku berdegup sangat cepat saat aku menatap matamu. Jika aku mengatakan semuanya, apakah kamu dapat menerimaku? Menerimaku apa adanya. Menerimaku dengan begitu banyak kekurangan yang ada padaku. Sesungguhnya aku tak yakin dengan semua ini.
Bertahan. Aku tak dapat melakukan apa pun selain menahan perasaan ini. Ingin sekali rasanya aku menyampaikan semua mimpi-mimpiku selama ini. Kamu, Bia. Selalu kamu yang ada di mimpiku. Semua mimpi indah itu adalah kamu.
Setiap kali aku melihat wajahmu, aku tak pernah berhenti pula membayangkan betapa indahnya saat aku hidup denganmu nanti. Setiap kita tertawa bersama, selalu terbayang masa tua kita yang akan dipenuhi dengan canda dan tawa kita berdua. Aku memang tidak pandai, tidak rajin, dan banyak tidaknya, tetapi aku selalu mempunyai berbagai cara untuk membuatmu tertawa bersamaku, begitu pula kamu. Aku selalu merasa nyaman saat ada di dekatmu. Kamu berbeda. Kamu selalu bisa mengembalikan tawaku saat aku sedang marah. Dan itu yang selalu terbayang dalam pikiranku saat kita hidup bersama nanti. Jika takdir menemukan kita.
****
Jika aku tak membutuhkanmu, mengapa aku menangis di tempat tidurku?
Jika aku tak membutuhkanmu, mengapa namamu menggema di kepalaku?
Jika kamu bukan untukku, mengapa jarak ini meruntuhkan hidupku?
Jika kamu bukan untukku, mengapa aku memimpikanmu menjadi istriku?
****
Aku benci pada diriku sendiri. Betapa tidak? Selama enam bulan lalu, aku benar-benar membutuhkanmu. Tapi aku terlalu egois. Aku hanya dapat melihat beberapa foto dan video saat kita bersama yang tersimpan di ponselku. Aku sadar waktu itu aku bukan lelaki yang baik. Aku tak pernah mengerti apa dan bagaimana wanita. Saat aku melihat semua foto dan video dari ponselku, aku hanya dapat menitikkan air mata dan membasahi sarung bantalku. Aku sadar, aku terlalu bodoh.
Aku hanya berkata dalam hati bahwa aku merindukanmu. Hanya dapat menuliskan kata-kata rindu itu di buku catatanku. Aku terlalu bodoh. Aku yang membutuhkanmu, tapi aku pula yang menunggumu. Itu hal terbodoh yang pernah ku lakukan. Sekarang aku menyesal. Sangat-sangat menyesal.
Tak rumit, aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu padaku selama ini. Aku ingin membuktikan bahwa mimpi-mimpiku selama ini adalah sebuah pertanda. Sebuah pertanda yang akan membawa kita ke masa depan. Dimana hanya ada kita. Kau dan aku. Bia dan Randi.
****
Aku tak tahu mengapa kamu terlalu jauh
Tapi aku tahu semua ini adalah benar
Kita akan melewati ini
Dan ku harap kamulah seseorang yang akan berbagi hidup denganku
Dan ku harap kamulah seseorang yang menemaniku hingga aku mati
Dan ku berdoa kamulah seseorang yang akan membangun rumah denganku
Aku harap aku mencintaimu selama hidupku
****
Kini aku hanya dapat berdoa semoga Tuhan memberikan yang terbaik untukku, juga untukmu. Aku memang selalu berharap kamu bisa jadi milikku, Bia, tapi aku sadar akan diriku yang seperti ini. Tapi aku ingin kamu yang menjadi takdirku. Takdir terindah untukku. Aku sadar aku sangat membutuhkanmu walau pun aku tak bisa mengungkapkan ini semua.
Aku tahu, semua orang memiliki kekurangan, begitu juga dengan kita, Bia. Aku janji, aku bisa menerima semua kekuranganmu. Aku akan tutup semua itu dengan kelebihan yang ku punya. Begitu juga denganmu. Kamu harus menutup kekuranganku dengan kelebihan yang kamu punya. Aku yakin sebenarnya kamu juga memiliki rasa yang sama denganku, Bia. Aku memang lelaki yang tak pernah mengerti wanita. Sangat sulit untukku menebak teka-teki darimu. Mungkin aku yang terlalu bodoh.
Senyummu membuat semua bunga di taman ini merasa malu karena telah tersaingi. Tawamu mengalahkan indahnya kicauan burung di langit yang indah hari ini. Matamu bersinar seperti air mancur yang berada di tengah taman ini. Entah sampai kapan aku hanya mengagumimu dalam diam. Haruskah aku bersikap dingin padamu agar aku tahu isi hatimu yang sebenarnya? Atau mungkin aku harus menjauh? Ah, sangat sulit.
****
Karena aku sangat merindukanmu, jiwa dan raga
Hingga aku hampir mati
Dan ku hirup dirimu ke dalam hatiku
Dan aku memohon kekuatan untuk bertahan hari ini
Karena aku mencintaimu entah ini salah atau benar
Dan meski aku tak bisa bersamamu malam ini
Dan meski hatiku di sisimu
****
“Ran? Randi? Kamu sehat, kan?” Panggil Bia membuyarkan lamunanku.
“Eh, iya, ada apa, Bi?”
“Kamu kenapa? Sakit? Tiba-tiba ngelamun gitu?”
“Engga, cuma lagi mikirin kamu hehehe…”
“Halah! Pulang, yuk! Sudah sore, nih.”
“Tapi makan dulu, ya? Laper.”
“Dimana?”
Nggak usah banyak tanya, ya, Bi. Kamu duduk manis aja di mobil, nanti juga sampai.”
“Iya, terserah kamu, Ran.”
Maaf, Bia, aku masih belum bisa jujur sama kamu tentang semua ini. Tentang semua yang aku rasa ke kamu. Aku belum siap. Aku yakin nanti akan ada waktunya untuk aku siap mengatakan semua ini ke kamu. Akan ada saatnya, Bia.
****
Aku tak ingin berlari tapi aku tak kuat menahannya, aku tak mengerti
Jika aku tidak ditakdirkan untukmu,
lalu mengapa hatiku mengatakan bahwa akulah takdirmu?
Adakah cara lain agar aku tetap ada dalam dekapanmu?
****










Song: If You're Not The One by Daniel Beddingfield

Senin, 11 Mei 2015

Keheningan Senja

Malam ini aku disini, tempat dimana kita pernah berdua. Berbagi cinta, bertukar rahasia. Bersama aroma tumbuh-tumbuhan yang memandang iri.
Hangat, seperti irama jazz yang mengalun lembut. Tatapanmu yang selalu membuatku meleleh seperti es krim cokelat yang pernah ku beri saat itu.
Desahan suaramu yang selalu menenangkan terdengar di telingaku, “Ray…..,” bisikmu. Dan kita pun duduk berhadapan. Kau menatapku lekat. Mencoba bertukan pikiran kembali. Tapi aku sangat tak mampu.
Disini, saat ini aku membisu. Di taman yang mempertemukan kau dan aku.
Senja dan Ray.
* * * *
“Maaf lama menunggu,” suara yang sangat aku rindukan itu memecah keheningan.
“Tidak, tidak apa-apa.”
“Ada apa? Bosan menunggu?”
“Aku tak pernah bosan untuk menunggumu.”
Kami terdiam sejenak. Tatapan mata itu seolah memberi isyarat.
“Sampai kapan kita akan seperti ini, Senja? Maksudku, kau.”
“Aku tak tahu. Kau bosan? Atau keberatan?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa bertanya?”
Aku tak bisa menjawabnya. Hening. Tangannya menggenggam telapak tanganku dengan lembut dan terasa erat.
I love you, Ray.”
“Aku tahu.”
“Lalu?”
“Ya, aku tahu itu.”
Kami kembali terdiam. Kali ini benar-benar diam. Hening. Hanya suara desahan angin yang seakan mengerti perasaanku saat ini. Mencoba menghiburku dengan senyum indahnya.
Air mata jatuh dari salah satu pelupuk matanya. Senja, andai kau tahu, aku sangat ingin menghapus air mata itu. Tangan ini tak mampu ku gerakkan ke pipi meronamu itu. Aku hanya menunduk. Tertunduk menahan bendungan air mata ini. Aku tak ingin kau melihatnya, Senja.
* * * *
Sore ini aku kembali berada di taman ini. Duduk di salah satu kursi taman tepat di depan air mancur. Segelas kopi panas yang ku beli di café seberang taman, kembali menemani. Aku mengeluarkan buku catatan dan pena dari saku. Entah apa yang akan ku tulis kali ini. Tak ku pedulikan orang yang berlalu lalang di depanku. Karena aku tahu, tak akan ada yang datang untukku. Setidaknya untuk saat ini.
Halaman buku catatan yang saat ini di tangan masih kosong. Aku masih tak tahu harus menulis apa. Sebenarnya ingin sekali aku mengeluarkan apa yang ku rasakan saat ini, tapi sangat sulit untuk merangkai kata-kata itu.
Aku lemah. Ku letakkan buku catatan dan penaku di atas kursi di sebelah kopi. Aku membungkuk, menutup wajah, mencoba menenangkan diri. Aku sudah tak bisa membendung air mata ini lagi. Ku seka air mata dengan telapak tangan. Aku berbisik pada diriku sendiri, “Senja…..”
Tak lama, Senja duduk di sebelahku. Dia menggenggam tanganku dengan penuh perasaan.
“Senja…..”
Dia tak bersuara. Hanya menyunggingkan senyum indah yang membuatku lebih tenang.
“Kenapa ada disini, Ray? Bukankah kau sudah tak mau lagi bertemu denganku?”
“Aku tak pernah berkata seperti itu.”
“Bukan mulutmu yang berkata.”
“Lalu?”
“Matamu yang mengisyaratkan seperti itu. Kau sudah tak banyak bicara saat bertemu denganku, jadi ku simpulkan seperti itu.”
“Bukan begitu.”
“Lalu apa?”
Aku benar-benar diam. Tak bisa menjawab. Ingin rasanya aku teriak dan mengeluarkan seluruh air mata ini.
“Jangan terus-terusan membendung air mata, Ray.”
“Aku sedang berusaha.”
“Lebih baik kita bicara daripada berbagi air mata seperti ini.”
“Ya, aku tahu.”
Sunyi sejenak. Aku menundukkan kepala. Terlihat tanganku masih digenggam Senja. Tak lama, Senja menyandarkan kepalanya di atas bahuku. Aku hanya diam. Tak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini.
“Jadi, bagaimana hidupmu sekarang, Ray?”
“Sangat tidak menyenangkan.”
“Jangan begitu……”
“Kenyataannya seperti itu, Senja. Andai kau dapat bersamaku lagi.”
“Kau tahu, itu tidak mungkin, Ray.”
“Aku hanya berharap.”
Hening sejenak. Seperti sedang berpikir topik pembicaraan selanjutnya.
“Bagaimana kabarnya?”
“Siapa?”
“Kelly.”
“Baik. Sepertinya dia merindukanmu.”
“Dan kau?”
“Tentu. Sangat. Kalau tidak untuk apa aku kesini setiap hari?”
“Untuk mengenang pertama kali kita bertemu, mungkin.”
“Dan juga terakhir kali kita bertemu.”
“Jangan begitu…..”
“Kenyataannya seperti itu. Di tempat ini pertama kali kita bertemu, dan disini pula tempat terakhir kali kita berjumpa.”
“Jangan teruskan. Tolong.”
Aku menatap wajahnya. Dia tertunduk menahan air mata. Tak ku pedulikan orang-orang sekeliling menatapku dangan tatapan heran dan merendahkan.
Hari sudah gelap. Bulan menyunggingkan senyuman indah mengingatkanku pada seseorang yang sudah menungguku di rumah.
“Aku harus pergi, Senja.”
Buku catatan dan pena ku rapikan di saku. Aku meneguk habis kopi yang memang sudah tersisa sedikit dan membuang gelasnya ke tempat sampah.
“Selamat tinggal, Ray. Hati-hati. Aku sangat mencintaimu, Ray.”
* * * *
Rumah tampak sepi. Sepertinya Kelly sudah tidur, pikirku. Tapi saat aku membuka pintu, Kelly langsung menyambutku dengan memeluk tubuh ini erat.
“Dari mana?”
“Mau tahu saja.”
“Aku kangen.”
“Sama, dong!”
“Kenapa perginya terlalu lama?”
Aku hanya tersenyum dan mencium kening Kelly dengan lembut.
“Kenapa belum tidur?”
“Tidak bisa.”
“Menunggu, ya?”
Kelly mengangguk. Lalu kami masuk kamar dan naik ke tempat tidur. Mencoba memejamkan mata beristirahat. Tak lama kemudian, suara Kelly membuatku membuka mata lagi.
“Ada apa?” Tanyaku.
“Ayo cerita….”
“Cerita apa, Kelly?”
“Kemana dan ngapain saja hari ini?”
Ngapain, ya? Sepertinya selalu berada di tempat yang sama dan melakukan aktifitas yang sama setiap hari. Terlalu bosan untuk diceritakan.”
“Aku juga, tapi aku tak pernah bosan. Mau dengar ceritaku saja?”
“Sudah malam, lebih baik kita tidur sekarang. Ceritanya lanjutkan besok saja, bagaimana?”
“Besok kapan? Kita tidak pernah ada waktu untuk bersama. Hanya sarapan pagi saja, setelah itu sibuk dengan urusan masing-masing.”
“Ya sudah, ceritakan sekarang.”
“Sudah malam, lebih baik kita tidur sekarang. Ceritanya lanjutkan besok saja,” Kelly menirukan kata-kataku
Lalu aku tertawa. Dunia seperti kembali bersemi saat bersama Kelly.
“Sudahlah lebih baik kita tidur, sudah larut. Selamat malam, Kelly.”
Aku mencium keningnya dengan lembut ketika matanya sudah terpejam. Aku menyayangimu, Kelly. Begitu juga kau, Senja, desahku perlahan
* * * *
Pagi hari, Kelly sudah berada di ruang makan. Sarapan sudah ia siapkan di atas meja makan.
“Nanti malam langsung tidur saja, tidak usah menunggu,” kataku membuka percakapan.
“Memang kenapa?”
“Nanti kecapaian kalau menunggu sampai malam.”
“Mau kemana hari ini? Aku boleh ikut? Aku kan libur hari ini.”
“Mau ikut? Hmm….,” aku ragu.
“Kalau boleh. Kalau di rumah saja bosan sendirian. Aku hanya ingin menemani.”
Aku berpikir, lalu menjawab,
“Tidak usah, sendiri juga tidak apa-apa.”
“Ya sudah kalau begitu,” raut mukanya terlihat kecewa. “Tapi jangan pulang malam-malam, ya?”
“Kenapa?”
“Nanti aku kangen.”
* * * *
Taman ini adalah taman kita. Kau dan aku. Senja dan Ray.
Tapi mengapa taman ini seperti berbeda dari biasanya?
Kau duduk di sebelahku. Hening. Tanpa suara.
Aku bergeser dan menghadapmu agar dapat melihat wajahmu yang muram lebih jelas. Wajah yang begitu dingin, sedih, dan pilu.
“Ada apa?” Tanyaku memecah keheningan.
“Tidak.”
“Wajahmu tak bisa bohong, Senja. Aku tahu betul dirimu. Ceritakan saja.”
“Karena kau tak mengajak Kelly kesini.”
“Aku hanya ingin berduaan saja denganmu saat ini.”
Senja memalingkan wajahnya dari hadapanku. Menunduk menatapi tanah. Menunda laju gelombang percakapan. Aku menatap wajahnya, berusaha menyampaikan harap lewat binar mataku.
“Aku ingin kita kembali, Senja.”
“Tidak mungkin, Ray. Kita sudah pernah bicarakan ini.”
“Tapi aku tak bisa jauh darimu. Sungguh….”
“Kau masih punya Kelly.”
“Iya, tapi semua tidak sama, Senja. Aku butuh kamu.”
“Kelly juga membutuhkanmu, Ray.”
Aku menahan napas sejenak. Menghentikan percakapan. Aku tutup mataku dengan sapu tangan yang baru saja ku keluarkan dari saku untuk menyeka air mata yang tak bisa lagi ku bendung.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Seorang tukang sapu yang tampak bingung melihatku terisak sendirian.
“Tidak, tidak apa-apa. Terima kasih,” aku menjawab dan memastikan air mataku sudah tak terlihat. Tukang sapu itu pun segera pergi.
Aku dan Senja terdiam beberapa saat. Aku melihat Senja terus-menerus mengeluarkan air mata. Dan aku beberapa kali menyeka air mata yang membendung di pelupuk mata ini.
  Senja masih menangis. Air matanya mengalir ke arahku, seolah ingin menyampaikan pesan tersirat. Aku menggenggam erat tangannya agar ia dapat merasa lebih tenang untuk menyampaikan pesan itu. Senja menatapku dengan tatapan mata yang berlinang air mata.
“Kita takkan bertemu lagi, Ray…”
“Kenapa, Senja? Jangan tinggalkan aku…”
“Terima kenyataan, Ray. Mulailah hidup barumu bersama Kelly.”
“Tanpamu? Itu takkan mungkin!”
Please, Ray, lupakan aku.”
“Aku…. Aku tidak bisa, Senja.”
“Harus! Kamu harus bisa melupakan aku!”
Pelupuk mata ini sudah tak kuat lagi menampung air mata. Senja beranjak dari tempat duduknya. Perlahan menghilang bersamaan dengan hembusan angin malam yang mungkin akan mengantar Senja berlalu. Aku pun beranjak dari tempat dudukku. Ku genggam tangannya, mencoba menahan kepergiannya yang diiringi keheningan angin malam.
“Senja…. Senja, jangan pergi!”
“Maafkan aku, Ray. Tolong jaga Kelly, our lovely daughter. Untukku. Bye, Ray...”
“Aku akan menjaganya, tapi tolong jangan pergi, Senja!”
“Maaf, Ray. Aku akan selalu mencintai kalian, Ray, Kelly.
“Kami juga akan selalu mencintaimu, Senja. Kami butuh kamu…”
Senja menghilang dari hadapanku. Aku kembali terduduk lemah. Tak berdaya.
Aku menatap tempat Senja biasa bersandar padaku. Kosong. Senja benar-benar hilang. Yang tersisa hanyalah malam pilu, di tengah lampu-lampu taman yang sekarang menjadi kenangan.
“Selamat tinggal, Senja….,” bisikku perlahan.
* * * *
Aku sampai di rumah sekitar pukul 10 malam. Terlihat lampu ruang tengah masih menyala. Saat aku masuk, Kelly langsung memelukku erat.
“Habis menangis? Ada apa?” Tanya Kelly saat melihat wajahku.
“Tidak apa-apa.”
“Aku mau cerita. Kali ini tolong dengarkan, ya?”
Kelly menarikku ke kursi. Ia menyuruhku duduk kemudian mendengarkan ceritanya. Aku hanya tersenyum melihat tingkah manjanya itu.
“Baik, sekarang coba ceritakan.”
“Tadi ada yang menelepon, suaranya seperti ibu-ibu. Dia bilang mau cari ayah, tapi aku bilang ayah belum pulang. Terus, kami mengobrol. Dia menanyakan bagaimana keadaanku, sekolahku, dan yang lainnya. Lalu dia bertanya apa aku kesepian. Aku bilang, aku sempat merasa sedih waktu ibuku meninggal. Tapi aku tidak kesepian karena aku masih punya ayah yang sangat sayang padaku.”
Aku memeluk Kelly. Erat. Mencium keningnya. Aku merasakan air mata di pelupuk ini.
“Kenapa? Ceritaku bikin sedih, ya?”
“Tidak, Kelly…. Teruskan.”
“Lalu dia bertanya tentang ayah. Aku bilang ayahku selalu pulang malam, tapi aku selalu menunggunya karena aku tidak mau tidur sendirian. Aku juga ingin ketika ayah baru sampai rumah dan wajahnya terlihat lelah, saat dia melihatku jadi semangat lagi. Terus aku bilang setiap ayah sampai di rumah, pasti ia selalu memelukku erat dan mencium keningku dengan penuh rasa sayang. Seperti sekarang ini, ya kan?”
“Kelly, apa kamu bertanya siapa namanya?”
“Tunggu, aku belum selesai cerita. Dia bertanya apa aku sayang pada ayahku. Tentu saja aku menjawab aku sangat sayang pada ayah. Ayah segalanya untukku. Lalu ibu-ibu itu menyuruhku untuk selalu menyayangi dan menjaga ayah baik-baik. Aku penasaran dia siapa. Saat aku bertanya nama ibu siapa, dia bilang namanya Senjani Putri. Wah, kataku, namamu seperti ibuku, Senja, tapi aku tidak tahu siapa nama lengkap ibuku. Lalu dia bilang dia harus pergi, setelah itu dia pamit dan menutup teleponnya.”
Jantungku berdegup kencang. Aku menatap wajah Kelly lekat-lekat.
“Kamu tidak berbohong, kan, Kelly?”
“Tidak, untuk apa aku bohong? Aku kan tidak pernah berbohong.”
Aku tersenyum padanya. Kemudian aku membawanya ke tempat tidur. Saat kami sudah berbaring untuk tidur, Kelly mendekatkan kepalanya ke telingaku. Kemudian ia berbisik,
“Oh iya, aku lupa. Tadi ibu-ibu itu menitipkan pesan. Katanya Senja sayang Ray dan Kelly. Eh, itu kan tulisan yang ada di foto itu, ya?”
Aku melihat ke arah foto yang diletakkan di atas meja samping tempat tidur. Di foto itu terlihat Senja sedang menggendong Kelly yang masih bayi, dan aku disampingnya. Senja yang membingkai foto itu dan menuliskan tulisan “Senja sayang Ray dan Kelly” di atas fotonya.
Baru saja aku akan menyampaikan sesuatu pada Kelly tapi ternyata dia sudah tertidur. Samar-samar aku melihat bayangan Senja  di sudut kamar. Dia tersenyum dan berbisik,
“Aku menyayangimu, Ray. Jaga Kelly untukku, ya?
“Aku juga menyayangimu, Senja…,” sahutku perlahan sambil mengusap kepala Kelly.

16 Desember 2014