Senin, 30 Maret 2015

BOLA MATA


Haruskah cinta seperti ini? Berlari tanpa tujuan. Berlari tanpa berkenalan dengan lelah, tapi ia mengenal jenuh. Jenuh akan rutinitas yang itu-itu saja. Jenuh dengan semua ejekan angin tentangnya. Ya, jenuh. Satu kata namun berjuta makna. Kadang dalam kehidupan ini pasti kita akan bertemu dengan jenuh, begitu juga cinta. Cinta akan bertemu dengan jenuh ketika ia merasa lelah. Saat itu cinta akan pasrah. Pasrah dengan keadaan yang sangat mengejutkan siapa pun yang menjalankannya. Dan, ini yang sedang aku rasakan. Jenuh akan semua hal yang mengenai cinta. Cinta, cinta, dan cinta. Aku belum paham betul akan arti cinta ini. Kata orang, cinta itu membahagiakan, tapi sulit untukku merasakan hal itu. Kata orang, cinta itu indah. Indah? Seperti apa definisi cinta yang indah itu menurut mereka? Sulit untuk mengakui benar apa yang orang-orang katakan tentang cinta itu selama aku belum merasakannya. Yang ada di benakku, cinta adalah sesuatu yang menyakitkan, pahit, menyulitkan, menyesakkan, hingga membunuh batin dan jiwaku. Ya, sangat sulit. Ini sangat sulit.
****
Sudah lama aku menjauh dari hal-hal yang berbau cinta. Aku tidak ingin menambahkan luka saat luka lamaku ini belum kering. Yang aku jalani saat ini adalah upayaku agar aku dapat melupakan masa laluku yang kelam tentang cinta. Aku tidak mau menunjukkan sesuatu yang menyulitkan dalam kehidupanku di luar sana. Cukup aku dan Tuhan yang mengetahuinya.
Aku menjalani rutinitas sebagai mahasiswa di sebuah universitas yang berada di Jakarta. Disini aku akan selalu berusaha menemukan kebahagiaanku yang baru. Kebahagiaan yang mampu merubah hidupku menjadi lebih baik. Kebahagiaan yang akan membuatku lupa tentang masa laluku. Bukan, bukan lupa, tapi tidak akan mengingat kembali tentang hal itu. Di kampus, aku hanya sebagai mahasiswa biasa dengan rutinitas kampus yang itu-itu saja. Aku ingin sibuk, agar aku dapat lebih menemukan diriku yang baru, tapi sesuatu menyulitkanku untuk sibuk. Hingga akhirnya aku hanya menjadi mahasiswa kuliah-pulang kuliah-pulang, atau yang lebih dikenal dengan kupu-kupu.
Mempunyai banyak teman adalah salah satu upayaku untuk menemukan diriku yang baru. Aku berkenalan dengan banyak teman baru di kampus. Mereka baik, ramah, peduli satu sama lain. Sangat berbeda dengan persepsiku saat pertama kali aku mengenal mereka. Aku memang tipikal orang yang takut tidak disukai dengan orang baru, maka dari itu awal aku masuk, aku lebih banyak diam.
Indra, laki-laki bertubuh tinggi ini adalah teman dekatku saat ini. Kami berteman saat menjadi mahasiswa baru di kampus. Bertubuh tinggi dengan bentuk yang proporsional, membuat aku tahu banyak yang menyukai Indra saat kami baru masuk. Aku? Tidak, aku hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Pergi dan pulang bersama, membuat aku dan Indra menjadi teman yang sangat akrab. Awalnya aku sangat tertutup dengan Indra, aku tak ingin siapa pun tahu tentang masa laluku yang membuatku menjadi lebih murung sekarang ini. Indra selalu menghiburku jika aku sudah terlihat murung. Kami baru bertemu di kampus, tapi kedekatan kami, maksudnya pertemanan kami sudah seperti berteman sejak kecil. Itulah yang mereka lihat selama ini. Hari semakin berlalu, dan Indra menjadi salah satu teman terbaikku di kampus ini. Indra mengetahui semua tentangku dan begitu juga denganku yang tahu segala hal tentang Indra.
Masa lalu kami hampir sama, yaitu ditinggalkan orang yang kami sayang. Yang membedakan adalah aku ingin melupakan masa laluku dan semua rasa pahitnya, sedangkan Indra masih ingin bertahan dengan sesuatu yang membuatnya sakit. Aku tidak ada hak untuk melarang itu. Semua keputusan ada di tangannya. Aku hanya dapat berharap ia berpikir dengan otak jernihnya agar ia sadar, masih banyak wanita lain yang menyukainya daripada ia harus menunggu sesuatu yang sangat tidak pasti.
“Kamu tuh nggak tahu rasanya gimana, Mil.”
Hanya itu yang dikatakan Indra kalau aku berkata untuk lupakan saja masa lalunya dan jangan menunggu hal yang tidak pasti. Jika ia sudah berkata demikian, aku hanya menatapnya dan tersenyum,
“Ya sudah, itu hak kamu, Ndra.”
****
“Nes, kamu kenapa senyum-senyum melihat Indra?” Sapaku pada Nesya yang terlihat bengong sambil tersenyum memandang Indra dari belakang.
“Eh, Mil, bikin kaget saja kamu. Aku… Aku nggak…”
“Ah, kamu suka Indra, ya?”
“Kamu ini ada-ada saja, Mil. Tidak, aku hanya….”
“Sudahlah, Nes, wajahmu sudah memerah.”
“Tolong jangan beri tahu Indra, Mil. Aku tahu kamu teman dekatnya, tapi aku mohon.”
“Iya, iya, aku akan diam untukmu.”
Nesya, teman kelasku dan Indra. Wanita cantik berparas oriental yang sangat ramah ini mudah ditebak jika sedang suka dengan seseorang, salah satunya Indra. Nesya pintar, cantik, baik, rajin… Ah, tidak mungkin Indra menolaknya. Aku ingin sekali memberitahu Indra tentang ini, siapa tahu ia bisa melupakan masa lalunya. Tidak, tidak, aku sudah berjanji pada Nesya untuk tidak memberitahukan ini pada siapa pun termasuk Indra. Sebenarnya aku tidak mengerti, mengapa Nesya lebih senang menjadi “pengagum rahasia” daripada terang-terangan agar Indra tahu. Apa ia takut Indra akan menjauh karena ia tahu Indra seorang lelaki yang dingin? Kemungkinan besar seperti itu. Biarlah Nesya yang menyimpan perasaannya itu.
****
Indra datang terlambat. Tidak biasanya ia seperti itu. Datang saat dosen sedang menerangkan, cara berjalan yang tidak biasa, wajah terlihat lesu, dan mata yang sayu. Aku hanya melihat sekilas karena dosen tepat berada di depanku. Ingin sekali rasanya aku menanyakan keadaannya. Jika ia kesiangan, tidak mungkin seperti itu paras wajahnya.
Aku mengambil bloknoteku, lalu ku tulis sebait puisi yang sedang ada di otakku. Aku sama sekali tidak mendengar apa yang dosen sedang terangkan di depan kelas.
            Bola mata itu masih disana
            Tapi ia tak menatapku
            Aku mengerti
            Ia menatap sesuatu yang
            Masih menjadi harapannya
Ah! Aku sangat tidak fokus pada keadaan. Aku tidak tenang. Takut, resah, dan gelisah sedang menyelimutiku saat ini. Ada apa denganku? Puisi ini? Tuhan, apa yang terjadi? Aku harus tenang. Mila, kamu harus tenang. Tarik napas, hembuskan. Tarik napas, hembuskan. Sedikit terasa lega walaupun terasa masih ada yang mengganjal.
“Mil, Indra pucat. Badannya hangat,” bisik Karin yang duduk tepat di belakangku dan berada di sebelah kanan Indra. Aku sangat bingung harus bagaimana. Pantas saja daritadi aku merasa gelisah dan tak tenang. Tapi apakah ini pertanda untuk Indra? Ingin sekali rasanya aku bertanya pada takdir mengenai hal ini. Aku hanya diam setelah Karin memberitahu tentang Indra barusan. Saat aku mencoba untuk menengok ke belakang, aku melihat Indra tidak seperti biasanya. Wajahnya yang pucat, ditambah rambut yang tidak rapi membuatku yakin Indra tidak sehat. Aku hanya dapat mengutuk dalam hati agar mata kuliah ini cepat berakhir dan aku segara mengantar Indra ke pusat kesehatan kampus.
Akhirnya kelas berakhir. Aku segera menghampiri Indra untuk memastikan keadaannya. Saat aku pegang tangannya, astaga! Ini bukan hangat, ini panas! Indra benar-benar sakit. Aku segera membawanya ke pusat kesehatan kampus agar Indra bisa istirahat dan aku akan meminta obat disana. Indra sangat kelelahan. Ia seorang mahasiswa aktif dalam organisasi kampus, tidak seperti aku yang “kupu-kupu”. Aku sangat tidak tega melihat Indra dalam keadaan lemah seperti ini.
“Ndra, kamu pulang saja, ya?”
“Aku masih ingin ikut kelas setelah ini, Mil.”
“Kamu sedang sakit, Ndra. Kamu harus istirahat.”
“Aku baik-baik saja, Mila. Aku hanya lelah.”
“Terserah kamu, Ndra. Minum obat dulu, ayo aku bantu.”
Indra memang seorang pria yang menjunjung tinggi pendidikan. Ia selalu berusaha menjadi mahasiswa yang aktif dalam intra maupun ekstra. Tapi aku heran, walaupun sudah sesibuk itu, ia tetap tidak akan pernah lupa dengan masa lalunya. Ia masih bersikeras untuk dapat mewujudkan masa lalunya yang pahit menjadi masa depan yang indah. Sangat-sangat sulit dimengerti, tapi itulah Indra.
Di kelas berikutnya ternyata Indra masuk kelas. Lelaki itu memaksakan diri agar tidak tertinggal dalam mata kuliah manapun. Indra duduk di barisan depan, sementara aku ada di barisan ketiga. Aku dapat melihat Indra walaupun dari belakang. Tubuhnya yang lemas ia usahakan agar terlihat tetap bugar, aku dapat melihatnya. Tangannya terlalu sulit untuk mencatat penjelasan dosen, akhirnya ia hanya mengamati dengan seksama saat dosen menerangkan. Aku menatapnya dengan penuh harapan agar ia dapat sehat kembali. Aku tak ingin Indra sakit seperti ini.
“Kamu jujur saja, Mil,” suara Karin yang duduk di sebelahku membuyarkan lamunanku saat dosen keluar kelas.
“Jujur? Jujur apa maksudmu?”
“Aku melihat ada yang berbeda saat kamu menatap Indra. Kamu sangat khawatir, kan?”
“Tentu aku khawatir, Indra sahabatku.”
“Bukan, maksudku ada yang berbeda dengan kekhawatiranmu itu. Jangan membohongi perasaanmu sendiri, Mil.”
“Ah, ada-ada saja kamu, Rin. Kamu hanya menerka-nerka.”
“Hahaha aku cukup berpengalaman, Mila. Aku tahu mana tatapan seorang sahabat yang sesungguhnya dan tidak.”
“Menurutmu? Aku?”
“Kamu? Tatapanmu itu tatapan seorang sahabat yang sesungguhnya. Sesungguhnya memiliki perasaan yang lain hahaha mengaku saja, Mil. Kamu dan Indra sangat cocok.”
“Sudahlah, Rin, kamu sok tahu!”
Karin masih terus tertawa sampai teman-teman yang lain tak mengerti apa yang terjadi padanya. Sedangkan aku memikirkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang baru saja dikatakan Karin. Apa benar aku mempunyai perasaan yang berbeda pada Indra? Perasaan yang melebihi seorang sahabat. Perasaan khusus wanita terhadap lawan jenisnya. Aku saja tidak tahu, mana mungkin Karin tahu. Ah, ia hanya menggodaku!
****
Siang itu, Indra masih ada di dalam kelas. Ia masih sibuk dengan komik Jepangnya. Ya, itulah Indra. Kalau sudah bersama dengan komik, bisa lupa segalanya. Makan siang pun mungkin akan ia tinggalkan demi membaca komik. Aku tak sanggup menahan rasa laparku ini, jadi aku memutuskan untuk ke kantin dan menghibur lambungku.
“Ndra, ayo ke kantin!”
“Kamu duluan saja, Mil. Aku belum lapar.”
“Kamu belum lapar atau lagi asik baca komik?”
“Nah itu kamu tahu hehehe…”
“Terserah, Ndra. Aku lapar, aku ke kan….”
“Ndraaa, suka baca komik juga? Ya ampun kita sama!” Suara Nesya memotong pembicaraanku pada Indra. Huh, dasar tak tahu adab!
“Iya, Nes, hehe…”
“Ndra, aku ke kantin. Kamu mau nitip apa?” Suaraku mengeras agar tidak terpotong lagi.
“Roti saja, Mil. Thanks, Mila cantik!”
Aku keluar kelas dan masih mendengar ocehan Nesya yang membicarakan komik. Memang tidak aneh jika Nesya seperti itu, ia kan suka pada Indra. Aku baru tahu Nesya menyukai segala hal berbau Jepang. Tak heran memang, wajahnya yang oriental itu membuatku juga yakin ia suka pada hal-hal Jepang. Ah, lagi pula apa bagusnya Jepang? Lebih indah negeri sendiri, Indonesia. Kenapa aku jadi seperti sinis pada Nesya? Tidak, aku tidak sinis. Ya, aku tidak sinis!
****
“Mil, besok kamu ada acara?”
Free, Ndra. Ada apa?”
“Jalan yuk? Aku mau ke toko buku.”
“Oke, siap!”
Tidak biasanya Indra mengajakku pergi ke toko buku. Mungkin ia ingin membeli komik terbaru, tapi mengapa tidak dengan Nesya saja? Kan mereka sesama penyuka komik Jepang. Atau mungkin benar jika Indra tidak begitu merespon Nesya? Lebih baik aku tanyakan padanya langsung.
            Mungkin kau tak pernah
            Sadar akan hadirku ini
            Yang akan selalu menunggu
            Dan menunggu sesuatu
            Sesuatu yang sangat tak pasti
            Dan mungkin tak akan
            Pernah menjadi pasti
“Kamu cari komik apa, Ndra?” Tanyaku saat Indra sedang asik melihat-lihat komik Jepang. Aku bingung komik ini bercerita tentang apa. Yang sering aku lihat, Indra beberapa kali tertawa terbahak-bahak saat membaca komik Jepangnya itu. Setiap aku tanya mengapa ia tertawa, ia hanya menjawab, “Baca sendiri dong biar tahu!”
“Aku lagi cari One Piece,” jawabnya datar dengan pandangan masih terfokuskan pada rak yang berisi komik-komik Jepang.
“Oh… Oh iya, kamu sama Nesya kan sama-sama suka komik, kenapa cari komiknya nggak sama Nesya? Kan kalian bisa berdiskusi saat mau beli.”
“Nggak ah, Nesya memang pecinta anime, tapi…. Ah beda pokoknya. Kalau ngobrolin anime memang nyambung, seru, tapi di luar pembicaraan anime, dia aneh. Nggak kaya kamu.”
Dug! Seketika degupan jantungku mengencang. Tidak seperti aku? Maksudnya? Aku tak bisa menahan degupan jantung ini lagi, aku harus menjauh sesaat dari Indra.
“Ndra, aku mau lihat novel ya disana.”
“Oke, nanti aku kesana.”
Apa maksud pembicaraan Indra tadi? Aku benar-benar bingung, dan menjadi tidak fokus. Fokusku untuk mencari novel telah buyar, aku masih memikirkan ucapannya tadi. Lalu, mengapa degupan jantung ini semakin cepat? Rasanya ingin aku teriakkan semua ini.
“Sudah selesai cari novelnya?” Suara Indra seketika membuyarkan lamunanku yang menghadap ke rak novel, seakan-akan sedang memilih novel yang ingin ku beli.
“Eh, Ndra, sudah, tapi lagi nggak ada yang bagus,” jawabku berbohong, Jelas saja bohong, sedaritadi aku tidak membaca apa-apa. Jangankan sinopsis novel, judul novel-novelnya saja tak ada yang aku ingat.
“Ya sudah, makan yuk! Laper nih.”
“Kamu nggak jadi beli komik?”
“Jadi kok, ini,” jawabnya sambil menunjukkan plastik yang berisi beberapa komik. Ya, beberapa. Indra tidak pernah membeli hanya satu komik, pasti ia membeli beberapa.
****
Malam ini terlihat sangat indah. Bintang-bintang bertaburan tak beraturan di langit. Mereka menemani bulan yang selalu sendiri. Meski bulan selalu sendiri, ia tak pernah sedih. Ia selalu memancarkan sinar kebahagiaannya untuk bumi saat malam tiba. Jika bulan sedih, pasti ia akan redup, seperti manusia. Jika sedih, manusia tak ada yang bisa memancarkan senyuman indah di wajahnya. Wajah manusia akan terlihat redup ketika sedang bersedih. Saat senang, manusia selalu berbagi kebahagiaannya itu dengan orang lain, sehingga orang lain dapat merasakan pancaran kebahagiaan yang sedang dirasakan.
Aku mulai meragukan perasaanku sendiri, sedang senang atau sedih, aku pun tak tahu. Masih terngiang ucapan Indra tadi siang di toko buku. Apa maksudnya mengucapkan seperti itu? Haruskah aku bertanya sendiri atau…… Tapi untuk apa aku bertanya? Ya, kalau jawabannya membuatku senang, tapi kalau tidak? Itu hanya akan membuat perasaanku berantakan, tidak hanya perasaan, tapi persahabatanku dengan Indra pun dapat pecah karena perasaanku sendiri. Aku masih sangat ingat, Indra akan bertahan pada masa lalunya yang sudah menggoreskan luka pada hatinya. Lebih baik aku diam dan menganggap tidak ada apa-apa.
Mengapa aku menjadi seperti ini? Mengapa aku terus memikirkan Indra? Apa benar yang dikatakan Karin? Ah, tidak mungkin! Perasaan ini hanya sesaat. Sesaat datang lalu pergi, kemudian datang lagi, dan pergi lagi. Itukah yang dinamakan sesaat? Sesaat datang dan pergi?
Cinta ini datang begitu saja
Tanpa permisi, tanpa perkenalan
Aku tak mengenalmu
Dan aku yakin tak perlu mengenalmu
Silakan kau datang
Bahkan kalau ingin pergi pun silakan
Aku tak memaksa
Karena aku tahu
Pada akhirnya kau hanya akan
Menggoreskan luka