Haruskah cinta seperti ini? Berlari tanpa tujuan. Berlari tanpa berkenalan dengan lelah, tapi ia mengenal jenuh. Jenuh akan rutinitas yang itu-itu saja. Jenuh dengan semua ejekan angin tentangnya. Ya, jenuh. Satu kata namun berjuta makna. Kadang dalam kehidupan ini pasti kita akan bertemu dengan jenuh, begitu juga cinta. Cinta akan bertemu dengan jenuh ketika ia merasa lelah. Saat itu cinta akan pasrah. Pasrah dengan keadaan yang sangat mengejutkan siapa pun yang menjalankannya. Dan, ini yang sedang aku rasakan. Jenuh akan semua hal yang mengenai cinta. Cinta, cinta, dan cinta. Aku belum paham betul akan arti cinta ini. Kata orang, cinta itu membahagiakan, tapi sulit untukku merasakan hal itu. Kata orang, cinta itu indah. Indah? Seperti apa definisi cinta yang indah itu menurut mereka? Sulit untuk mengakui benar apa yang orang-orang katakan tentang cinta itu selama aku belum merasakannya. Yang ada di benakku, cinta adalah sesuatu yang menyakitkan, pahit, menyulitkan, menyesakkan, hingga membunuh batin dan jiwaku. Ya, sangat sulit. Ini sangat sulit.
****
Sudah
lama aku menjauh dari hal-hal yang berbau cinta. Aku tidak ingin menambahkan
luka saat luka lamaku ini belum kering. Yang aku jalani saat ini adalah upayaku
agar aku dapat melupakan masa laluku yang kelam tentang cinta. Aku tidak mau
menunjukkan sesuatu yang menyulitkan dalam kehidupanku di luar sana. Cukup aku
dan Tuhan yang mengetahuinya.
Aku
menjalani rutinitas sebagai mahasiswa di sebuah universitas yang berada di
Jakarta. Disini aku akan selalu berusaha menemukan kebahagiaanku yang baru.
Kebahagiaan yang mampu merubah hidupku menjadi lebih baik. Kebahagiaan yang
akan membuatku lupa tentang masa laluku. Bukan, bukan lupa, tapi tidak akan
mengingat kembali tentang hal itu. Di kampus, aku hanya sebagai mahasiswa biasa
dengan rutinitas kampus yang itu-itu saja. Aku ingin sibuk, agar aku dapat
lebih menemukan diriku yang baru, tapi sesuatu menyulitkanku untuk sibuk.
Hingga akhirnya aku hanya menjadi mahasiswa kuliah-pulang kuliah-pulang, atau
yang lebih dikenal dengan kupu-kupu.
Mempunyai
banyak teman adalah salah satu upayaku untuk menemukan diriku yang baru. Aku
berkenalan dengan banyak teman baru di kampus. Mereka baik, ramah, peduli satu
sama lain. Sangat berbeda dengan persepsiku saat pertama kali aku mengenal
mereka. Aku memang tipikal orang yang takut tidak disukai dengan orang baru,
maka dari itu awal aku masuk, aku lebih banyak diam.
Indra,
laki-laki bertubuh tinggi ini adalah teman dekatku saat ini. Kami berteman saat
menjadi mahasiswa baru di kampus. Bertubuh tinggi dengan bentuk yang
proporsional, membuat aku tahu banyak yang menyukai Indra saat kami baru masuk.
Aku? Tidak, aku hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Pergi dan pulang
bersama, membuat aku dan Indra menjadi teman yang sangat akrab. Awalnya aku
sangat tertutup dengan Indra, aku tak ingin siapa pun tahu tentang masa laluku
yang membuatku menjadi lebih murung sekarang ini. Indra selalu menghiburku jika
aku sudah terlihat murung. Kami baru bertemu di kampus, tapi kedekatan kami,
maksudnya pertemanan kami sudah seperti berteman sejak kecil. Itulah yang
mereka lihat selama ini. Hari semakin berlalu, dan Indra menjadi salah satu
teman terbaikku di kampus ini. Indra mengetahui semua tentangku dan begitu juga
denganku yang tahu segala hal tentang Indra.
Masa
lalu kami hampir sama, yaitu ditinggalkan orang yang kami sayang. Yang
membedakan adalah aku ingin melupakan masa laluku dan semua rasa pahitnya,
sedangkan Indra masih ingin bertahan dengan sesuatu yang membuatnya sakit. Aku
tidak ada hak untuk melarang itu. Semua keputusan ada di tangannya. Aku hanya
dapat berharap ia berpikir dengan otak jernihnya agar ia sadar, masih banyak
wanita lain yang menyukainya daripada ia harus menunggu sesuatu yang sangat
tidak pasti.
“Kamu
tuh nggak tahu rasanya gimana, Mil.”
Hanya
itu yang dikatakan Indra kalau aku berkata untuk lupakan saja masa lalunya dan
jangan menunggu hal yang tidak pasti. Jika ia sudah berkata demikian, aku hanya
menatapnya dan tersenyum,
“Ya
sudah, itu hak kamu, Ndra.”
****
“Nes, kamu kenapa senyum-senyum
melihat Indra?” Sapaku pada Nesya yang terlihat bengong sambil tersenyum
memandang Indra dari belakang.
“Eh, Mil, bikin kaget saja kamu.
Aku… Aku nggak…”
“Ah, kamu suka Indra, ya?”
“Kamu ini ada-ada saja, Mil. Tidak,
aku hanya….”
“Sudahlah, Nes, wajahmu sudah
memerah.”
“Tolong jangan beri tahu Indra, Mil.
Aku tahu kamu teman dekatnya, tapi aku mohon.”
“Iya,
iya, aku akan diam untukmu.”
Nesya,
teman kelasku dan Indra. Wanita cantik berparas oriental yang sangat ramah ini
mudah ditebak jika sedang suka dengan seseorang, salah satunya Indra. Nesya
pintar, cantik, baik, rajin… Ah, tidak mungkin Indra menolaknya. Aku ingin
sekali memberitahu Indra tentang ini, siapa tahu ia bisa melupakan masa
lalunya. Tidak, tidak, aku sudah berjanji pada Nesya untuk tidak memberitahukan
ini pada siapa pun termasuk Indra. Sebenarnya aku tidak mengerti, mengapa Nesya
lebih senang menjadi “pengagum rahasia” daripada terang-terangan agar Indra
tahu. Apa ia takut Indra akan menjauh karena ia tahu Indra seorang lelaki yang
dingin? Kemungkinan besar seperti itu. Biarlah Nesya yang menyimpan perasaannya
itu.
****
Indra
datang terlambat. Tidak biasanya ia seperti itu. Datang saat dosen sedang
menerangkan, cara berjalan yang tidak biasa, wajah terlihat lesu, dan mata yang
sayu. Aku hanya melihat sekilas karena dosen tepat berada di depanku. Ingin
sekali rasanya aku menanyakan keadaannya. Jika ia kesiangan, tidak mungkin
seperti itu paras wajahnya.
Aku
mengambil bloknoteku, lalu ku tulis
sebait puisi yang sedang ada di otakku. Aku sama sekali tidak mendengar apa
yang dosen sedang terangkan di depan kelas.
Bola
mata itu masih disana
Tapi
ia tak menatapku
Aku
mengerti
Ia
menatap sesuatu yang
Masih menjadi harapannya
Ah!
Aku sangat tidak fokus pada keadaan. Aku tidak tenang. Takut, resah, dan
gelisah sedang menyelimutiku saat ini. Ada apa denganku? Puisi ini? Tuhan, apa
yang terjadi? Aku harus tenang. Mila, kamu harus tenang. Tarik napas,
hembuskan. Tarik napas, hembuskan. Sedikit terasa lega walaupun terasa masih
ada yang mengganjal.
“Mil,
Indra pucat. Badannya hangat,” bisik Karin yang duduk tepat di belakangku dan
berada di sebelah kanan Indra. Aku sangat bingung harus bagaimana. Pantas saja
daritadi aku merasa gelisah dan tak tenang. Tapi apakah ini pertanda untuk Indra?
Ingin sekali rasanya aku bertanya pada takdir mengenai hal ini. Aku hanya diam
setelah Karin memberitahu tentang Indra barusan. Saat aku mencoba untuk
menengok ke belakang, aku melihat Indra tidak seperti biasanya. Wajahnya yang
pucat, ditambah rambut yang tidak rapi membuatku yakin Indra tidak sehat. Aku
hanya dapat mengutuk dalam hati agar mata kuliah ini cepat berakhir dan aku
segara mengantar Indra ke pusat kesehatan kampus.
Akhirnya
kelas berakhir. Aku segera menghampiri Indra untuk memastikan keadaannya. Saat
aku pegang tangannya, astaga! Ini bukan hangat, ini panas! Indra benar-benar
sakit. Aku segera membawanya ke pusat kesehatan kampus agar Indra bisa
istirahat dan aku akan meminta obat disana. Indra sangat kelelahan. Ia seorang
mahasiswa aktif dalam organisasi kampus, tidak seperti aku yang “kupu-kupu”.
Aku sangat tidak tega melihat Indra dalam keadaan lemah seperti ini.
“Ndra, kamu pulang saja, ya?”
“Aku masih ingin ikut kelas setelah
ini, Mil.”
“Kamu sedang sakit, Ndra. Kamu harus
istirahat.”
“Aku baik-baik saja, Mila. Aku hanya
lelah.”
“Terserah
kamu, Ndra. Minum obat dulu, ayo aku bantu.”
Indra
memang seorang pria yang menjunjung tinggi pendidikan. Ia selalu berusaha
menjadi mahasiswa yang aktif dalam intra maupun ekstra. Tapi aku heran,
walaupun sudah sesibuk itu, ia tetap tidak akan pernah lupa dengan masa
lalunya. Ia masih bersikeras untuk dapat mewujudkan masa lalunya yang pahit
menjadi masa depan yang indah. Sangat-sangat sulit dimengerti, tapi itulah Indra.
Di
kelas berikutnya ternyata Indra masuk kelas. Lelaki itu memaksakan diri agar
tidak tertinggal dalam mata kuliah manapun. Indra duduk di barisan depan,
sementara aku ada di barisan ketiga. Aku dapat melihat Indra walaupun dari
belakang. Tubuhnya yang lemas ia usahakan agar terlihat tetap bugar, aku dapat
melihatnya. Tangannya terlalu sulit untuk mencatat penjelasan dosen, akhirnya
ia hanya mengamati dengan seksama saat dosen menerangkan. Aku menatapnya dengan
penuh harapan agar ia dapat sehat kembali. Aku tak ingin Indra sakit seperti
ini.
“Kamu jujur saja, Mil,” suara Karin
yang duduk di sebelahku membuyarkan lamunanku saat dosen keluar kelas.
“Jujur? Jujur apa maksudmu?”
“Aku melihat ada yang berbeda saat
kamu menatap Indra. Kamu sangat khawatir, kan?”
“Tentu aku khawatir, Indra sahabatku.”
“Bukan, maksudku ada yang berbeda
dengan kekhawatiranmu itu. Jangan membohongi perasaanmu sendiri, Mil.”
“Ah, ada-ada saja kamu, Rin. Kamu
hanya menerka-nerka.”
“Hahaha aku cukup berpengalaman,
Mila. Aku tahu mana tatapan seorang sahabat yang sesungguhnya dan tidak.”
“Menurutmu? Aku?”
“Kamu? Tatapanmu itu tatapan seorang
sahabat yang sesungguhnya. Sesungguhnya memiliki perasaan yang lain hahaha
mengaku saja, Mil. Kamu dan Indra sangat cocok.”
“Sudahlah,
Rin, kamu sok tahu!”
Karin
masih terus tertawa sampai teman-teman yang lain tak mengerti apa yang terjadi
padanya. Sedangkan aku memikirkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang baru saja
dikatakan Karin. Apa benar aku mempunyai perasaan yang berbeda pada Indra?
Perasaan yang melebihi seorang sahabat. Perasaan khusus wanita terhadap lawan
jenisnya. Aku saja tidak tahu, mana mungkin Karin tahu. Ah, ia hanya
menggodaku!
****
Siang
itu, Indra masih ada di dalam kelas. Ia masih sibuk dengan komik Jepangnya. Ya,
itulah Indra. Kalau sudah bersama dengan komik, bisa lupa segalanya. Makan
siang pun mungkin akan ia tinggalkan demi membaca komik. Aku tak sanggup
menahan rasa laparku ini, jadi aku memutuskan untuk ke kantin dan menghibur
lambungku.
“Ndra, ayo ke kantin!”
“Kamu duluan saja, Mil. Aku belum
lapar.”
“Kamu belum lapar atau lagi asik
baca komik?”
“Nah itu kamu tahu hehehe…”
“Terserah, Ndra. Aku lapar, aku ke
kan….”
“Ndraaa, suka baca komik juga? Ya
ampun kita sama!” Suara Nesya memotong pembicaraanku pada Indra. Huh, dasar tak
tahu adab!
“Iya, Nes, hehe…”
“Ndra, aku ke kantin. Kamu mau nitip
apa?” Suaraku mengeras agar tidak terpotong lagi.
“Roti
saja, Mil. Thanks, Mila cantik!”
Aku
keluar kelas dan masih mendengar ocehan Nesya yang membicarakan komik. Memang
tidak aneh jika Nesya seperti itu, ia kan suka pada Indra. Aku baru tahu Nesya
menyukai segala hal berbau Jepang. Tak heran memang, wajahnya yang oriental itu
membuatku juga yakin ia suka pada hal-hal Jepang. Ah, lagi pula apa bagusnya
Jepang? Lebih indah negeri sendiri, Indonesia. Kenapa aku jadi seperti sinis
pada Nesya? Tidak, aku tidak sinis. Ya, aku tidak sinis!
****
“Mil, besok kamu ada acara?”
“Free,
Ndra. Ada apa?”
“Jalan yuk? Aku mau ke toko buku.”
“Oke,
siap!”
Tidak
biasanya Indra mengajakku pergi ke toko buku. Mungkin ia ingin membeli komik
terbaru, tapi mengapa tidak dengan Nesya saja? Kan mereka sesama penyuka komik
Jepang. Atau mungkin benar jika Indra tidak begitu merespon Nesya? Lebih baik
aku tanyakan padanya langsung.
Mungkin
kau tak pernah
Sadar
akan hadirku ini
Yang
akan selalu menunggu
Dan
menunggu sesuatu
Sesuatu
yang sangat tak pasti
Dan
mungkin tak akan
Pernah menjadi pasti
“Kamu cari komik apa, Ndra?” Tanyaku
saat Indra sedang asik melihat-lihat komik Jepang. Aku bingung komik ini
bercerita tentang apa. Yang sering aku lihat, Indra beberapa kali tertawa
terbahak-bahak saat membaca komik Jepangnya itu. Setiap aku tanya mengapa ia
tertawa, ia hanya menjawab, “Baca sendiri dong biar tahu!”
“Aku lagi cari One Piece,” jawabnya datar dengan pandangan masih terfokuskan pada
rak yang berisi komik-komik Jepang.
“Oh… Oh iya, kamu sama Nesya kan
sama-sama suka komik, kenapa cari komiknya nggak sama Nesya? Kan kalian bisa
berdiskusi saat mau beli.”
“Nggak ah, Nesya memang pecinta
anime, tapi…. Ah beda pokoknya. Kalau ngobrolin anime memang nyambung, seru,
tapi di luar pembicaraan anime, dia aneh. Nggak kaya kamu.”
Dug!
Seketika degupan jantungku mengencang. Tidak seperti aku? Maksudnya? Aku tak
bisa menahan degupan jantung ini lagi, aku harus menjauh sesaat dari Indra.
“Ndra, aku mau lihat novel ya
disana.”
“Oke,
nanti aku kesana.”
Apa
maksud pembicaraan Indra tadi? Aku benar-benar bingung, dan menjadi tidak
fokus. Fokusku untuk mencari novel telah buyar, aku masih memikirkan ucapannya
tadi. Lalu, mengapa degupan jantung ini semakin cepat? Rasanya ingin aku
teriakkan semua ini.
“Sudah selesai cari novelnya?” Suara
Indra seketika membuyarkan lamunanku yang menghadap ke rak novel, seakan-akan
sedang memilih novel yang ingin ku beli.
“Eh, Ndra, sudah, tapi lagi nggak
ada yang bagus,” jawabku berbohong, Jelas saja bohong, sedaritadi aku tidak
membaca apa-apa. Jangankan sinopsis novel, judul novel-novelnya saja tak ada
yang aku ingat.
“Ya sudah, makan yuk! Laper nih.”
“Kamu nggak jadi beli komik?”
“Jadi
kok, ini,” jawabnya sambil menunjukkan plastik yang berisi beberapa komik. Ya,
beberapa. Indra tidak pernah membeli hanya satu komik, pasti ia membeli beberapa.
****
Malam
ini terlihat sangat indah. Bintang-bintang bertaburan tak beraturan di langit.
Mereka menemani bulan yang selalu sendiri. Meski bulan selalu sendiri, ia tak
pernah sedih. Ia selalu memancarkan sinar kebahagiaannya untuk bumi saat malam
tiba. Jika bulan sedih, pasti ia akan redup, seperti manusia. Jika sedih,
manusia tak ada yang bisa memancarkan senyuman indah di wajahnya. Wajah manusia
akan terlihat redup ketika sedang bersedih. Saat senang, manusia selalu berbagi
kebahagiaannya itu dengan orang lain, sehingga orang lain dapat merasakan
pancaran kebahagiaan yang sedang dirasakan.
Aku
mulai meragukan perasaanku sendiri, sedang senang atau sedih, aku pun tak tahu.
Masih terngiang ucapan Indra tadi siang di toko buku. Apa maksudnya mengucapkan
seperti itu? Haruskah aku bertanya sendiri atau…… Tapi untuk apa aku bertanya?
Ya, kalau jawabannya membuatku senang, tapi kalau tidak? Itu hanya akan membuat
perasaanku berantakan, tidak hanya perasaan, tapi persahabatanku dengan Indra
pun dapat pecah karena perasaanku sendiri. Aku masih sangat ingat, Indra akan
bertahan pada masa lalunya yang sudah menggoreskan luka pada hatinya. Lebih
baik aku diam dan menganggap tidak ada apa-apa.
Mengapa
aku menjadi seperti ini? Mengapa aku terus memikirkan Indra? Apa benar yang
dikatakan Karin? Ah, tidak mungkin! Perasaan ini hanya sesaat. Sesaat datang lalu
pergi, kemudian datang lagi, dan pergi lagi. Itukah yang dinamakan sesaat? Sesaat
datang dan pergi?
Cinta ini datang begitu saja
Tanpa permisi, tanpa perkenalan
Aku tak mengenalmu
Dan aku yakin tak perlu mengenalmu
Silakan kau datang
Bahkan kalau ingin pergi pun silakan
Aku tak memaksa
Karena aku tahu
Pada akhirnya kau hanya akan
Menggoreskan luka